Sabtu, 25 Februari 2012

Kerukunan

KERUKUNAN YANG DIHARAPKAN BUKAN KEKERASAN
Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Kerukunan merupakan prasyarat utama dalam kehidupan, sehingga tidaklah mungkin suatu kehidupan bisa berjalan normal dan kondusif manakala kerukunan terkoyakkan, sehingga kita semua apapun latar belakangnya tertantang untuk menjaga kerukunan tersebut. Lebih-lebih kita yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman social budaya, suku, ras,  bahasa, dan agama, sehingga janganlah sampai berbagai keragaman itu dijadikan alat untuk merusak kerukunan yang sudah terbangun sejak lama itu, oleh berbagai kepentingan murahan tanpa mempertimbangkan kehidupan masa depan bahkan semakin mudah melakukan berbagai aksi kekerasan, sehingga putuslah tali persaudaraan, dan rusaklah kerukunan yang selalu kita harapkan.
Kerukunan
K.H.M. Dachlan, sebagai Menteri Agama Republik Indonesia dalam Musyawarah Antar Agama, di Jakarta pada 30 November 1967, mula-mula memperkenalkan kerukunan dalam konteks agama-agama, sebagaimana ditegaskan, “ adanya kerukunan antara golongan beragama merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet Ampera”, pokok-pokok pikiran ini sangat penting menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki falsafah Pancasila dan mengakui Bhineka Tunggal Ika, karena keragaman agama dalam implementasi kehidupan hendaknya sama-sama menjunjung tinggi aspek-aspek kerukunan. Lebih lanjut Menteri Agama H.Alamsyah Ratu Prawiranegara pada masa orde baru itu mencanangkan Tri Kerukunan, yaitu : Kerukunan Intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah. Tri kerukunan ini menjadi sangat penting bagi kehidupan kita, dan itulah yang sangat diharapkan, mengingat akhir-akhir ini betapa seringnya permasalahan kekerasan dijadikan alat pembenar dari berbagai aksi-aksi kekerasannya sebagai misi suci nilai keagamaan yang diyakininya.
Kekerasan
            Beragamnya kekerasan yang sangat memalukan itu sejatinya tidak bisa disanding dengan ajaran agama manapun, lebih-lebih kekerasan merupakan wilayah criminal, sehingga apapun argumentasi pembelaannya sangatlah bertolak belakang dengan misi suci ajaran agama. Nilai-nilai agama yang mengajarkan etika, perdamaian, persaudaraan, kerukunan dan kepedulian kemanusiaan, telah dibuang dalam kubangan yang tidak bermoral bahkan cenderung destruktif hingga melawan nilai-nilai kemanusiaan, mereka melawan apa yang tidak sama dengan dirinya, dan ironisnya membanggakan akan aksi jahatnya meski nurani menentangnya. Al Qur’an telah mengingatkan dalam surat Az-Zukhruf (43):37:  Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. Menegakkan kebenaran jika tidak cerdas akan disalah gunakan hingga menghalalkan kekerasan dan dianggap sesuai petunjuk-Nya, jika ini yang terjadi maka inilah sejatinya bencana kehidupan, dimana kebenaran dan kemuliaan wahyu dilecehkan oleh perbuatan yang penuh nafsu kejahatan. Melakukan aksi kekerasan dianggap bagian dari ritual keagamaan, pertumpahan darah dan dendam yang membara dianggap jalan kemuliaan hingga menemui kematian untuk  mendapatkan “bidadari syurga”.
Maraknya aksi-aksi kekerasan yang terus silih berganti dengan membawa korban luka dan kematian dalam konteks kerukunan merupakan pertanda masih adanya kecurigaan, dendam,permusuhan dan ketidak adilan, dimana system kehidupan yang seharusnya transparan dan berkeadilan untuk kesejahteraan dan keamanan berubah menjadi arogan dan kesewenang-wenangan, sehingga kerukunan yang diharapkan menjadi kekerasan yang memalukan. Ternyata kondisi seperti ini tidak muncul begitu saja, tetapi terkait dengan scenario global dengan memanfaatkan beberapa pihak tertentu untuk didorong melakukan kekerasan berlabel keagamaan, sehingga merasa perjuangan ini adalah misi suci, dan mereka tidak sadar dijadikan kelinci percobaan untuk menutupi actor yang selama ini menjadi otak penggeraknya. Isu-isu agama menjadi daya tarik yang nyaris sempurna untuk menghancurkan kerukunan, karena agama yang menjadi keyakinan yang sangat special bagi para penganutnya jika terganggu akan menyulutkan rasa permusuhan, lebih-lebih dikaitkan dengan isu-isu social dan ekonomi sehingga kerukunan yang dibanggakan akan menjadi dendam permusuhan dan halal melakukan kekerasan.
Sempitnya wawasan beragama bisa memicu terjadinya konflik kekerasan, Komaruddin Hidayat (2003) menyatakan, “ agama (-agama) dengan segala klaim kebenarannya memang bisa menjadi dasar sosiologis penyebab konflik - konflik social – politik, Dan untuk merelativir potensi-potensi kekerasan yang bisa muncul dari orang yang beragama – yang bisa berakar dari klaim-klaim atas kebenaran yang sepihak ini – tampaknya bisa diatasi dengan memperluas pandangan dan visi religiositas dari diri orang yang beragama”, sehingga kita yang mengaku beriman pada-Nya terpanggil untuk terus mengembangkan wawasan beragama kita, karena masih ada diantara saudara kita yang melakukan pengerdilan paham agama sehingga tidak leluasa bergerak memberi solusi atas problem social yang ada. Sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2) : 197: Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. Bekal yang terbaik dalam mengarungi kehidupan ini adalah takwa yang mampu mendayagunakan kemampuan akalnya untuk menyingkap dan mengungkap rahasia-rahasia ciptaan-Nya, sehingga mampu memberi solusi kehidupan yang mencerahkan. Beragamanya mampu memberikan kedamaian, keamanan dan kerukunan karena menyadari kebesaran tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang tersusun secara harmonis, sehingga ketika bermasyarakat suasana keharmonisan akan diperjuangkan. Kesadaran otentik inilah sebagai energy perubahan menjadikan kehidupan lebih bermakna, sehingga ketika munculnya kekerasan sejatinya menyimpang dari kesadaran otentik yang telah terpatri dalam nafas kehidupannya.
Aksi kekerasan diantaranya berupa teror bom yang dikaitkan dengan ajaran agama merupakan bukti betapa rapuhnya landasan keyakinannya, karena tidaklah mungkin ajaran agama yang penuh kemuliaan disinergikan dengan kekerasan, sehingga mereka terus berupaya dengan segala rekayasa untuk menjadikan kekerasan menjadi bagian utama keyakinan. Ditambah hadirnya pihak-pihak tertentu yang terorganisir dan sistematis untuk melakukan tipuan, rayuan hingga pencucian otak, semakin meyakinkan perjuangannya, sehingga para korban terus bertambah akibat aksi brutalnya.
Semangat membangun kesadaran untuk bisa hidup rukun dan berdampingan, harmonis dan sinergis sangat kita harapkan. Kerukunan terwujud dari kualitas diri yang sadar dan bertanggung jawab atas kehidupan yang kondusif, serta tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hasutan dan cemoohan, sebaliknya kekerasan merupakan sikap diri yang tanpa kendali untuk mengumbar nafsu keserakahan penuh arogan. Suasana kehidupan yang rukun jangan mudah dipertaruhkan oleh berbagai bentuk kepentingan yang menyesatkan, sebab hancurnya kerukunan merupakan awal hancurnya peradaban dan kemanusiaan, dan untuk pemulihan membutuh modal social yang besar, untuk itu menjaga kerukunan adalah tanggung jawab kita semua, jika ada masalah social bisa didialogkan untuk bermusyawarah mencari solusi yang tepat dan berkeadilan bukan melalui kekerasan. Jadikan hidup ini menjadi bagian dari membangun kerukunan.
.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar