Sabtu, 12 November 2011

ZAKAT, DAYA HIDUP KEMULIAAN

Oleh :
Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Wakil Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya; Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya

Zakat secara bahasa (lughat), berarti: tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan, sehingga zakat memiliki peran penting dalam dinamika kehidupan manusia agar menjadi pribadi yang berpola hidup bersih hingga meraih  kemuliaan.
Para Muzaki bukan sekadar memberi atas harta yang dimiliki  tetapi ada kesadaran tinggi untuk menjadikan pribadi yang unggul karena tidak dibelenggu harta yang dimiliki;  menjadi pribadi yang berprestasi karena dia mampu mengalahkan segala nafsu keserakahan hingga kehinaan; menjadi pribadi yang  Peduli karena sadar  bahwa harta yang dimiliki masih ada hak bagi orang lain untuk merasakan kesejahteraan. Berzakat sungguh luar biasa karena mampu menunjukkan ketaatan pada-Nya sekaligus kepedulian terhadap sesamanya.
Hidup mulia adalah harapan kita semua, hal itu bisa ditapaki melalui berzakat, karena mampu beristiqomah  melepaskan belenggu kehinaan seperti kekikiran, kesombongan , sehingga harta yang dimilikinya mampu memberikan daya hidup bagi manusia lainnya, dan hidup yang hina karena enggan menunaikan zakat, aktivitas hidupnya hanya berpesta menghamburkan harta tanpa peduli dengan derita yang ada disekelilingnya, gaya hidupnya semakin terjerat dengan penggunaan harta yang justru membuatnya hina.
Kesadaran berzakat harus terus ditumbuhkan karena akan mampu menumbuhkan kemuliaan, serta membersihkan dari segala sifat kerendahan.  Seharusnya kita malu, karena berharta tetapi tidak berzakat, dan hal itu justru akan semakin membawa pada kehidupan yang tidak bermutu, hidupnya gelisah karena serakah. Berzakatlah, karena akan menumbuhkan harta, menambah persaudaraan serta mensucikan dari segala sifat kerendahan.
Rasulullah Muhammad SAW memberikan nasehat tentang betapa hebatnya seseorang yang mampu memberikan sebagian hartanya dijalan-Nya, sebagaimana, hadis riwayat Abu Hurairah ra.:  Dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada mesjid (selalu melakukan salat jamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk berzina), tapi ia mengatakan: Aku takut kepada Allah, seseorang yang memberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kanannya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kirinya dan seseorang yang berzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya. (Shahih Muslim No.1712).
Ada banyak perintah ibadah dalam ajaran Islam membutuhkan daya dukung harta, seperti  halnya berzakat, hal ini menunjukkan bahwa umat ini seharusnya menjadi umat yang unggul dalam berharta baik dari aspek mencari maupun dalam mengelolanya, sehingga berbagai aspek ibadah tersebut bisa ditunaikan secara maksimal. Al Qur'an telah memberikan petunjuk khususnya dalam pengelolaan harta kekayaan, diantaranya : Pertama, Larangan mencampuradukkan antara harta yang halal dan yang bathil (QS:89:19). Kedua. Larangan mencintai harta secara berlebihan (QS:89:20). Ketiga,  Proporsional dalam beribadah dan berniaga (QS:62:9-11),  Keempat, Menginfaqkan sebagian harta (QS:57:7). Kelima, pada harta kita ada hak bagi orang miskin (QS:51:19).
Berzakat sangat menentukan ke-Islaman seseorang, apakah dia bersungguh-sungguh dengan ke-Islamannya dan meraih kesempurnaan ataukah melakukan kebohongan dalam ber-Islamnya dengan tidak berzakat, padahal dalam Al Qur'an setidak terdapat 27 ayat yang menyandingkan dengan kewajiban menjalankan Sholat, memuji atas mereka yang berzakat dan sebaliknya  mengancam bagi mereka yang melalaikannya.
Komitmen dalam berzakat inilah yang akan mampu membukakan betapa hebat  dan bermartabatnya mereka yang berzakat, sehingga kemuliaan terwujudkan. Zakat itu hebat dan bermartabat, karena zakat mampu membangun kehidupan masyarakat yang bersih, barokah dan terus berkembang, sehingga menjadikan diri ini sadar bahwa pada harta yang kita miliki itu ada hak orang lain, kesuksesan yang kita raih sejatinya ada kontribusi dari peran orang lain.
Maka segeralah menunaikan zakat agar diri ini semakin bermartabat dan terhormat,  jangan melalaikannya karena semakin menunjukkan sebagai orang yang sangat hina. Sudah banyak bukti mereka yang berzakat semakin meraih kesuksesan dari buah kebaikan yang dilakukan, demikian juga ada banyak bukti mereka yang melalaikan zakat akan semakin mengarah pada kebangkrutan ekonomi dan kerendahan martabat.
Hidup berzakat akan mensucikan harta, dan memuliakan serta menjamin rasa aman dalam kehidupan dimasyarakat, karena berbagai bentuk kekerasan dan kriminal berawal dari desakan kebutuhan ekonomi yang memprihatinkan, untuk itu berzakatlah agar kesejahteraan semakin nyata. Zakat memang menjadi daya hidup untuk meraih kemuliaan. **

Puasa Penguat Kesadaran

Thursday, 04 August 2011 22:25 Media Online Bhirawa
PUASA PENGUAT KESADARAN
Oleh:Drs Andi Hariyadi M.Pd.I
Wakil Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Surabaya
Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya


Bagi orang-orang yang beriman, puasa Ramadan sangat dinantikan, karena ada banyak pelajaran yang sangat berharga di dalamnya untuk proses penyadaran diri, lebih-lebih masih sering kita jumpai berbagai bentuk aktivitas kehidupan yang justru mematikan kesadaran diri, yang serba bebas tanpa batas untuk pemuasan nafsunya. Secara bahasa puasa berasal dari kata al-shiyâm, al-shaum, berarti menahan.
Hal ini mengisyaratkan bahwa sejatinya kita sangat berkemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas tersebut, namun sebagai orang yang beriman mampu untuk menahannya untuk tidak dilakukan karena agama melarangnya. Inilah sejatinya prestasi kehidupan yang mampu mengendalikan dorongan nafsunya, ketika ada banyak peluang untuk suksesnya aksi kejahatan namun tidak dilakukan, karena menyadari bahwa dalam berbagai aktivitas kehidupan perlu adanya semangat untuk menahan dari berbagai bentuk yang dapat merugikan baik diri sendiri maupun pada orang lain, dan apa jadinya kehidupan ini jika manusia terus melakukan tindakan pengrusakan tanpa ada sedikitpun untuk menahannya, sehinggga kerusuhan dan kekerasan akan menjadi panglima dalam kehidupannya.
Ramadan merupakan bulan ke-9 dari perhitungan tahun hijrah, yang secara bahasa berarti membakar, sangat panas, hal ini menunjukkan bahwa pada bulan ke-9 itu suasana di padang pasir sangat panas oleh teriknya sinar matahari, sehingga dibutuhkan kesabaran yang prima dalam berpuasa agar tidak mudah terpengaruh serta terprovokasi oleh berbagai bentuk yang dapat mengurangi kekhidmatan ibadah puasa romadhan.
Dalam tafsir Fi Dzilalil Quran, Sayyid Qutb menyatakan, puasa merupakan sarana untuk memantapkan aqidah  yang kokoh dan teguh, dan sarana hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa hubungan ketaatan dan kepatuhan, sebagaimana ia juga merupakan sarana ketinggian melebihi kebutuhan fisik belaka, dan ketabahan untuk memikul tekanan dan bebannya, demi mengutamakan keridhoaan dan kesenangan disisi Allah. Kondisi romadhan yang panas dan membakar itu merupakan tantangan, dan mampukah kita menjadi hamba-Nya yang sukses membakar berbagai bentuk nafsu kerendahan dan keserakahan, yang akhir-akhir ini semakin menggurita dan merajalela untuk suksesnya pemuasan nafsu jahatnya.
Puasa Ramadan yang diwajib bagi orang beriman agar meraih takwa (QS:2:183), dan berpuasa itu lebih baik bagimu (QS:2:184), semakin menyadarkan kepada kita, bahwa perintah puasa ini bukan sekedar  perintah saja tetapi benar-benar berdampak yang luar biasa untuk perbaikan tatanan di berbagai aktvitas kehidupan kita. Sungguh memprihatinkan ketika para elite bangsa sibuk untuk memperkaya diri sendiri, dengan melakukan  kebohongan publik, penggarongan anggaran Negara dan menelantarkan kemiskinan serta jauhnya rasa keadilan untuk bisa ditegakkan ketika berbagai kepentingan saling terkait di dalamnya.
Terjadinya pembiaran atas berbagai aksi kejahatan bahkan cenderung bersekongkol untuk meraih keuntungan yang besar, sungguh memalukan aksi kejahatan ini. Ketika bangsa sedang membutuhkan sosok yang yang berkompeten, unggul dan penuh dedikasi untuk memberikan kontribusi sebagai upaya perbaikan bangsa, ternyata para generasi mudanya terbawa arus tsunami kejahatan yang merusak tatanan kehidupan berbangsa.
Momentum puasa Ramadan yang berbarengan dengan perayaan kemerdekan Republik Indonesia ke-66 tahun ini, benar-benar sangat berharga bagi mereka yang sudah memiliki kesadaran  dan peduli dengan kehidupan berbangsa, karena kita tidak ingin keterpurukan ini semakin menyengsarakan, dan melalui puasa romadhan sejatinya kita mampu untuk melakukan perubahan pada kebaikan. Sebagaimana Sabda Rosulullah Muhammad SAW: Barangsiapa berpuasa dibulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu (HR.Bukhari dan Muslim).
Hal ini mengisyarakan bahwa ada banyak kesalahan dan pelanggaran sehingga berbuah dosa atas apa yang selama ini kita lakukan, dan kondisi itu akan diampuni oleh-Nya manakala kita berpuasa secara benar bukan hanya sekedar menahan dari rasa lapar dan dahaga, tetapi mampu menahan berbagai amarah kejahatan, kemungkaran dan kemaksiatan yang selama ini mudah terperagakan.
Menilik sejarah Rasulullah Muhammad Saw ketika menjalankan puasa Ramadan dan itu bisa kita jadikan media untuk proses penyadaran diri agar menjadi manusia yang berbudi, maka ada beberapa hal terkait puasa Romadhan, yaitu pertama, puasa Ramadan adalah bulan Tarbiyah (Pendidikan) baik untuk perbaikan jasmani maupun rohani, untuk ditempa menjadi pribadi  yang unggul dan berkualitas yang mampu merasakan beratnya beban penderitaan akibat kemiskinan, serta ber-tadarus Alquran dan qiyamul lail akan semakin mendekatkan diri pada-Nya dalam proses kesempurnaan kesadaran, sehingga tahu akan tugas kehidupannya.
Kedua, puasa Ramadan adalah bulan perjuangan untuk meraih kemenangan, sejarah telah membuktikan bagaimana Rasulullah meraih kemenangan yang besar dalam perang Badar yang tidak seimbang antara kekuatan muslim dan kafir, tetapi karena ada kesungguhan dan strategi yang matang sehingga meraih kemenangan, hal ini menunjukkan adanya kualitas diri yang sempurna yang tidak mudah dirayu dan disuap oleh harta, wanita dan tahta. Puasa membawa energy besar untuk perubahan pada perbaikan, dan puasa bukanlah simbol kemalasan yang cenderung pasif dan tidak produktif tetapi puasa benar-benar suatu gerakan perubahan.
Ketiga, puasa Ramadan adalah bulan untuk membangun kepedulian, kebersamaan dan persaudaraan. Sebagaimana nasihat Rasulullah Saw, bahwa sedekah yang paling mulia adalah sedekah dibulan Ramadhan (HR.Tirmidzi), sehingga orang beriman yang konsisten dengan puasanya akan selalu memberikan yang terbaik lebih-lebih di bulan suci Ramadan ini, apapun profesi dan jabatan akan selalu diabadikan dengan berbagai bentuk kebaikan, meski terasa berat dan penuh tantangan dan godaan tidak menyurutkan usahanya untuk senantiasa merajut persaudaraan. Untuk itu upaya menyempurnakan ibadah puasa ini sesungguhnya tugas kita semua sehingga puasa kita ini benar-benar bermakna untuk perbaikan kehidupan.
Puasa Ramadan merupakan perisai yang tangguh dari berbagai serangan yang sering menghantam, karena dalam puasa ada kesabaran, ketulusan dan keberanian sekaligus menyingkirkan berbagai bentuk kerendahan yang memalukan. Puasa Ramadan mampu menjungkirbalikkan berbagai bentuk arogansi yang hingga kini masih sering mendominasi, karena pada puasa ada kesadaran yang sejati bukan imitasi yang saat ini mudah sekali ditampilkan dengan penuh pesona padahal menghanyutkan. Puasa Ramadan akan membawa pada kesadaran kemanusiaan yang toleran dan bertanggung jawab,  bukannya menebar sifat kerendahan kebinatangan yang menghancurkan norma dan etika.
Puasa Ramadan mampu meredam aksi keserakahan, yang  bukan hak dan kewenangannya dilumat habis untuk suksesnya aksi kerakusan. Puasa Ramadhan menjadikan diri lebih beradab karena mampu menerapkan nilai-nilai akhlaqul karimah dimasyarakat, ada kesantunan, kepatutan, kemuliaan dan keluhuran pekerti, untuk merobohkan tindakan kesewenangan, kekerasan, kelicikan. Puasa Ramadan akan semakin bermakna manakala kita selepas Ramadan masih konsisten dengan nilai-nilai dasar puasa dan hikmah Ramadan yang ada, sehingga puasa kita seakan puasa sepanjang masa sebagai bentuk konsistensi dalam mewujudkan kesadaran diri sebagai pribadi yang bertakwa. ***

Ibadah Haji dan Persaudaraan Sejati

IBADAH HAJI DAN PERSAUDARAAN SEJATI
Monday, 07 November 2011 23:03 Media Online Bhirawa
Oleh :
Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya

Ka'bah di Makkah telah menjadi saksi peradaban manusia, lebih-lebih pada bulan Dzulhijjah saat ini, berbondong-bondonglah umat muslim dari seluruh penjuru dunia untuk melakukan ritual ibadah haji, dimana pengorbanan dan perjuangan maksimal telah dilakukan Nabi Ibrahim as beserta Istrinya Hajar dan putranya Ismail as untuk memenuhi perintah-Nya sebagai bukti ketaatan yang paripurna, sehingga mampu mengalahkan berbagai bentuk sifat kerendahan dari rayuan syetan yang senantiasa menyesatkan dan menjauhi rahmat dan hidayah-Nya. Tua dan muda bergerak dengan segala kemampuannya menuju titik kesadaran meninggalkan kehinaan, menghancurkan keserakahan dan meluluhlantakan kesombongan hingga mendapatkan kemuliaan hidup. Kesadaran sebagai manusia pilihan yang mampu menjadi teladan bagi kehidupan, lebih-lebih melihat carut marutnya kehidupan yang jauh dari spirit ke-Ilahian.

Spirit Perjuangan
Peran dan kehadiran manusia sesungguhnya penuh dengan perjuangan, karena dari perjuangan itulah akan nampak siapa yang sukses meraih kemenangan dan siapa yang lari dari perjuangan sebagai pecundang yang memalukan. Nabi Ibrahim as merupakan tokoh spiritual sekaligus tokoh pergerakan yang mengukir prestasi gemilang karena mampu menghadapi berbagai permasalahan kehidupan dengan sempurna yang tak mau dicampurkan dengan sifat kerendahan dan kemusyrikan yang berakibat melemahkan dan menyesatkan. Ibadah haji dengan berbagai ritualnya sesungguhnya mampu menyadarkan diri untuk kembali pada kemuliaan hidup, karena ada banyak aktivitas kehidupan yang justru jauh dari kebermaknaan karena cengkraman syetan yang selalu menebar permusuhan, dendam dan penghancuran.
Ibrahim as dalam masa perjuangannya banyak bersentuhan dengan praktek keyakinan yang arogan yang dipelopori raja Namrud, hingga Nabi Ibrahim dibakar namun tetap terselamatkan dan arogansi penguasa masih tidak tergoyahkan. Namrud adalah penguasa yang gelisah melihat gelagat Ibrahim yang berusaha merusak kewibawannya, sehingga harus disingkirkan, dan Ibrahimpun melakukan perjalanan jauh hingga ke Makkah bersama istrinya Hajar dan putranya Islamil, yang selanjutnya ditinggalkan ditanah yang kering, tandus bebatuan yang keras untuk melanjutkan perjalanan perjuangan dan beberapa tahun kemudian kembali menemuai istri dan anaknya tercinta hanya untuk membunuh (menyembelih) putra terkasihnya, dengan rasa yang  berat dan ketaatan harus dibuktikan hingga diganti dengan domba untuk disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat disekitarnya. Ketaatan kepada-Nya jangan sampai dikalah oleh lainnya termasuk dengan anaknya, karena dari ketaatan inilah akan menjadikan diri ini menjadi pribadi yang tercerahkan.  Pribadi yang  mampu mengendalikan hawa nafsu, agar terkontrol aktivitas kehidupannya, sehingga berbagai bentuk kesombongan dan arogansi tersingkirkan guna menguatkan persaudaraan sebagai bekal interaksi dalam kehidupan social.

Membangun Persaudaraan
Diantara kesuksesan perjuangan Nabi Ibrahim as terkait dengan prosesi ibadah haji adalah membangun peradaban kehidupan berdasarkan ajaran taukhid, karena dari sanalah manusia akan mampu menyadari akan kehadirannya dimuka bumi ini untuk melakukan peran kekhalifahan, mengupayakan kehidupan yang harmonis bukan distruktif, kehidupan yang penuh persaudaraan bukan permusuhan, kehidupan yang aman dan damai bukannya kegelisahan dan  menakutkan hingga penuh konflik yang mengerikan. Kita benar-benar prihatin ketika masih maraknya berbagai aksi kekerasan hingga pembunuhan, sepertinya mereka telah kehilangan rasa persaudaraan sehingga dendam yang berkepanjangan, persaudaraan terkoyakkan oleh sikap arogan, kesewenangan dan merasa dirinya yang terbaik padahal senantiasa melakukan praktek kekerasan.
Semangat membangun persaudaraan terasa begitu kuat tatkala melakukan ritual haji, dari uniform yang dipergunakan adalah baju ihrom dari kain putih yang melambangkan kesucian, dan siapapun orangnya, apapun pangkat dan golongannya yang sebelumnya begitu terasa perbedaan dan pelayanan mendapatkan fasilitas yang cenderung diskriminatif telah melebur dan menyatu melakukan kebersamaan dalam rangka penyempurnaan diri. Seringkali dari perbedaan pakain dan fasilitas yang diberikan bisa menimbulkan kecemburuan sehingga melemahkan persaudaraan untuk memicu terjadi konflik social.
Maraknya aksi kekerasan pada akhir-akhir ini dapat menunjukkan betapa rapuhnya  persaudaraan, sepertinya kekerasan telah dijadikan model perjuangan sekaligus model kebijakan padahal dari kekerasan tersebut sangat dimungkinkan timbulnya korban luka dan jiwa, serta korban social berupa runtuhnya bangunan persaudaraan,  yang seharusnya persaudaraan bisa dijadikan modal untuk mencari solusi ketika ada problem-problem yang sangat krusial, namun sayangnya semangat membangun persaudaraan semakin terpinggirkan dan lebih mengutamakan melakukan aksi-aksi kekerasan dan sesungguhnya hal itu bukanlah solusi yang diharapkan.
Hidup dengan semangat persaudaraan sejatinya bukanlah hal yang baru dan hal itu sudah melekat  pada kepribadian manusia, dimana ketika dilahirkan dan dibesarkan ada sentuhan kasih sayang yang lembut dan menenangkan yang selanjutnya sebagai bekal ketika mengarungi kehidupannya dalam beriteraksi dengan masyarakat yang lebih luas dan beragam bisa melakukan sapaan yang lembut, pandangan yang menyejukkan dan aktivitas yang mengagumkan karena selalu menebar prestasi untuk kebaikan. Semangat persaudaraan harus tumbuh dari kesadaran diri bukan karena akibat intervensi, karena dari kesadaran diri itulah dapat melanggengkan tali persaudaraan, jika bukan karena kesadaran maka persaudaraan adalah semu, dan rapuh. Ibrahim as adalah figur  pemimpin yang mampu menunjukkan keteladan sehingga  bisa menumbuhkan kesadaran yang paripurna pada istri dan anaknya yang senantiasa konsisten melakukan kebaikan dan kemuliaan, serta tegas melakukan perlawanan terhadap perilaku yang merusak karena di dominasi  nafsu keserakahan dan permusuhan dari syetan, dan hal itu terekam dalam prosesi pelemparan jumroh sebagai bentuk membangun persaudaraan kemanusiaan untuk melawan arogansi syetan yang senantiasa menyesatkan.
Konsistensi membangun persaudaraan membutuhkan percepatan, bukannya melakukan pembiaran ketika munculnya aksi kekerasan, sehingga semakin memperparah dan berimbas pada munculnya berbagai potensi konflik yang selama  ini belum terselesaikan secara bijak dan berkeadilan. Sungguh mengerikan ketika konflik sampai terjadinya korban jiwa, sepertinya sebuah nyawa sudah tidak ada harganya lagi, padahal mereka yang jadi korban juga punya keluarga dan sanak saudara yang bisa jadi menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya, dan ketika tiada akan menyisahkan kedukaan yang luar biasa. Ritual haji yang melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah adalah bentuk konsistensi kita pada kebenaran dan kemuliaan dan jangan sampai terpalingkan, karena ketidakkonsistensian akan berdampak memicu permusuhan dengan segala akibatnya. Selanjutnya ritual haji juga melakukan sa'i dengan lari-lari kecil dari Sofa ke Marwah, hal ini mengajarkan bahwa untuk konsistensi tersebut membutuhkan percepatan yang maksimal, jangan ada pembiaran dan upaya mengalihkan perhatian tetapi tetap focus untuk menyelesaikan permasalahan dengan sebik mungkin. Kelambatan mengatasi problem yang ada akan  berdampak munculnya permasalahan baru, sehingga melakukan percepatan ini bukan dilakukan secara sembarangan tetapi tetap memperhatikan kondisi social secara keseluruhan, dan melakukan penyembelihan ternak qurban sebagai bentuk pengorbanan dan kepedulian sekaligus menghancurkan sifat kebinatangan, guna mendapat predikat taqwa.

Keragaman dan Persaudaraan  
Kesadaran umat Islam Indonesia dalam menunaikan ibadah haji cukup tinggi, meski dengan biaya yang relative besar dan harus menunggu waktu hampir 10 tahun ternyata tidak menyurutkan kemauannya untuk memenuhi panggilan-Nya. Kenyataan ini merupakan salah satu bukti bahwa telah adanya kesejahteraan dalam ekonomi pada sebagian masyarakat meski terbatas, dan mampu dipergunakan untuk menunaikan ibadah haji bukan untuk mencari status dan pengakuan social sebagai tokoh masyarakat tetapi benar-benar untuk membangun persaudaraan.
Persaudaraan sejati sesungguhnya mampu dibangun dari kebermaknaan haji yang mabrur (diterima), baik dari aspek vertical yang mencapai kesempurnaan diri, dan aspek horizontal yang mampu menguatkan persaudaraan meski ada keragaman kultur dan budaya, serta keagamaan tidak menghalangi upaya menguatkan persaudaraan sebagai refleksi haji yang mabrur. Persaudaraan sejati mampu mensinergikan perbedaan yang ada dalam suatu kekeluargaan, juga mampu meningkatkan kesetiakawanan social sebagai media menguatkan kerukunan, persaudaraan sejati juga melahirkan pribadi yang peduli untuk berbagi dalam memberikan solusi.
Ada banyak hikmah yang bisa kita peroleh dari ritual keagamaan sebagai media menguatkan persaudaraan, karena memang persaudaraan telah diperintahkan dalam firman-Nya (al Hujrat : 10-12),sehingga ada perdamaian serta bertaqwalah agar mendapat rahmat-Nya. Berbahagialah mereka yang selalu membangun persaudaraan sebagai wujud kemuliaan. ***
 

Senin, 07 November 2011

Konflik dan Kedewasaan

 
Thursday, 22 September 2011 21:31 Media Online Bhirawa
Oleh: Drs Andi Hariyadi M.Pd.I
Wakil Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Surabaya, Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya

Kondisi perpolitikan yang berkecenderungan kurang stabil ditambah semakin melemahnya kepercayaan masyarakat pada Pemerintah baik ditingkat lokal hingga nasional hanya karena alasan yang klasik tetapi sensitive, yaitu kompetensi dan transparansi. Sistem penyelenggaran negara sudah tertata, baik secara kelembagaan hingga regulasi yang telah dikeluarkan namun para penyelenggaranya terjebak oleh berbagai kepentingan sesaat dan menggiurkan sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan secara professional dan procedural serta rasional, bahkan semakin cenderung melakukan "mal praktek" dalam setiap kebijakannya. Problem korupsi dan ketidakadilan yang semakin merebak akhir-akhir ini merupakan produk dari tidak berkompeten dan tarnsparansinya mereka yang telah diberi amanah, hanya berorientasi  untuk kepentingan pribadi dan kroninya, hal ini sangat menodai cita-cita para pendiri bangsa, dimana kesejahteraan masih jauh dari harapan, keamanan dan kedamaian sering terkoyakkan oleh berbagai konflik yang seharusnya bisa kita hindari.
Kesejahteraan Masih Wacana
Krisis kepercayaan masyarakat pada Pemerintah sepatutnya disikapi secara cerdas dengan langkah-langkah strategis, bukan sekedar wacana yang bombatis, ataupun disikapi secara represif, hal ini semakin memperpuruk permasalahan yang ada. Saatnya keberpihakan pada masyarakat diwujudkan dengan penuh ketulusan, kesejahteraan tidak hanya pada para elite saja karena akan memicu kecemburuan social, sehingga memacu terjadinya konflik. Program kesejahteraan social janganlah dipermainkan hanya untuk sekedar tebar pesona saja, karena akan semakin jauh dari harapan, tetapi kesejahteraan social harus diprioritaskan dengan program yang tepat dan akurat, agar kemiskinan tidak menjadi dosa turunan, bahwa mitos orang miskin dilarang kaya, dan orang kaya harus kaya terus, merupakan indikasi ketidak adilan, dan tidak dewasanya dalam menentukan kebijakan, sepertinya negara dan bangsa ini adalah milik trah dan kroninya saja, dan yang selainnya tidak layak mendapatkan kue kesejahteraan itu.
Upaya mewujudkan kesejahteraan cenderung sebatas wacana, padahal kemiskinan membutuhkan kepedulian nyata, membuka kesempatan kerja baru dan berprospek agar para pengangguran bisa lebih produktif dalam kerjanya. Gagalnya mewujudkan kesejahteraan social merupakan problem yang sangat serius dan berimplikasi yang sangat luas disemua lini kehidupan, dan apa yang bisa dibanggakan jika kesejahteraan gagal diwujudkan, padahal potensi kekayaan bangsa yang luar biasa besarnya seharusnya mampu mensejahterakan. Potret kemiskinan begitu kuat nampak dihadapan kita, meski beratnya beban yang ada tidak menghalangi optimismenya untuk mempertahankan kehidupannya. Panas terik dan hujan yang merendam tidak menyurutkan perjuangannya, siang dan malam terus membanting tulang demi mewujudkan harapan. Masih adanya kantong-kantong kemiskinan yang mewarnai kerasnya kehidupan, dan tidak tersentuh oleh layanan social yang seharusnya layak diberikan padanya. Mereka terpinggirkan oleh kebijakan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, entah sampai kapan kemiskinan ini menyandranya.
Sungguh ironis ketika kemiskinan terlantarkan, sedang dipihak lain justru berpesta berhamburan harta, dan lebih menyakitkan sekali ketika berbagai aksi korupsi terbongkar dan tidak ada ketegasan dalam keadilan, bahkan cenderung dilindungi karena menyangkut kepentingannya, sehingga diupayakan berbagai rekayasa untuk kasus yang ada. Untuk urusan rekayasa seperti ini begitu canggihnya, dengan harapan lepas dari jeratan hukum, dan akan terus menari diatas kepedihan rakyat yang semakin sekarat dengan kemiskinan.

Konflik dan Kemiskinan

Terjadinya konflik seringkali bukan karena berdiri sendiri sehingga begitu saja terjadi tanpa ada hubungan yang menyertai, sebab konflik social justru terjadi karena adanya fakta social yang berupa kesenjangan social dalam bentuk kesenjangan kesejahteraan. Adanya sebagian masyarakat yang harus bersusah payah mengais rejeki demi sesuap nasi, sedang disisi lain adanya sebagian masyarakat yang begitu mudahnya menumpuk kekayaan materi padahal berbagai fasilitas sudah didapatkan namun masih merasa kurang sehingga melakukan penggelapan dan pembengkakan anggaran hingga trilyunan rupiah, gerakannya terorganisir secara rapih dan akan bungkam seribu bahasa ataupun menyatakan tidak tahu menahu akan masalah yang ada manakala ada yang membocorkan akan aksi kejahatannya.
Konflik dan kemiskinan merupakan dua sisi yang selalu beriringan dan korbannya adalah masyarakat luas, dan dua hal tersebut selalu dijadikan bagian dari upaya pengrusakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya kemasannya bisa berupa paham keagamaan, persaudaraan kesukuan, dan lain sebagainya. Perbedaan paham keagamaan menjadi media yang sangat sensitive untuk memicu terjadinya konflik dalam skala yang lebih besar, lebih-lebih didalamnya ada problem kesenjangan kesejahteraan sehingga semakin menyempurnakan terjadi konflik social. Klaim pembenaran akan aksi suci meski dengan melakukan pengrusakan, kekerasan hingga pembunuhan terus dikobarkan sebagai bentuk solidaritas. Persaudaraan dan keragaman  yang selama ini sudah terbangun dalam bingkai NKRI mulai rapuh, rasa dendam telah menhunjam dalam hati untuk terus melakukan permusuhan, dan hal itu bukanlah solusi yang tepat, justru membuat keterpurukan bangsa dan mudah dipecah belah oleh bangsa yang telah berjaya.
Akar terjadinya konflik bisa berasal dari kondisi structural dan kultural, serta multidimensi, dimana mereka yang telah dan sedang memiliki jabatan strategis berupaya mempertahankan kondisinya, dan diciptakanlah kultur agar bisa terjadi konflik sesuai jadwal yang diinginkan, jika ada sinyalemen yang mencoba mendongkraknya, maka dibuatkanlah konflik sebagai bentuk pengalihan perhatian. Sehingga kemiskinan bagi yang tidak memiliki kesadaran akan dipertahankan dan suatu saat bisa menjadi mesiu untuk terjadinya konflik. Kita benar-benar prihatin betapa mudahnya dari sebagian masyarakat ini mudah terjadi konflik, sehingga perlu kesadaran yang tinggi untuk bisa memahami keragaman yang ada agar tidak berbuah konflik.
Kedewasaan dalam Bersikap
Meletusnya konflik diantaranya adanya ketidaksepahaman atas kondisi dan kebijakan yang ada, merebaknya informasi yang cenderung provokatif serta tidak adanya perhatian atas aspirasi yang ada dan menemukan momentum sehingga membentuk group atau suatu komunitas sebagai respon atas tidak dipenuhinya tuntutan yang selama ini menjadi kebutuhan dasarnya. Perilaku represif dan destruktif telah menjadi bagian dari konflik, sehingga banyak korban di dalamnya dan terus berlanjut menjadi dendam yang tak terkendalikan untuk memenuhi amarahnya. Terjadinya konflik bukannya diselesaikan dengan konflik lainnya, tetapi seharusnya dari konflik yang ada tersebut bisa menyadarkan kita baik sebagai diri, anggota/bagian masyarakat atau para elite yang ada, untuk mampu mengoreksi atas kondisi yang ada. Kemauan untuk introspeksi seharusnya menjadi bagian dari kehidupan kita, apapun profesi dan jabatan tidak menghalangi untuk selalu mengoreksi diri agar lebih baik, dan itulah bagian dari kedewasaan.
Kedewasaan dalam mengantisipasi sekaligus dalam memberikan solusi atas terjadinya konflik harus terus dikembangkan, sehingga mampu meredam dan menghindar bahayanya konflik. Kedewasaan dalam bersikap sangatlah dibutuhkan, ketika bangsa ini semakin rapuh persatuannya, berbagai bentuk egoisme yang cenderung menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya dengan mengorbankan kelompok lain, seharus segera diakhiri, merasa diri yang terbaik dan terbenar dengan menyalahkan dan merendahkan yang lain akan semakin memperuncing permasalahan. Bagaimana kondisi hati dan pikiran ketika dihadapkan fakta yang sangat tidak diinginkan akan mempengaruhi respon atas fakta tersebut, sehingga ketika kondisi diri dalam posisi tertekan, terhina, dan terpinggirkan akan mudah menyulut terjadinya anarkis.
Manusia sebagai makhluk yang berkehormatan dan dilebihkan kedudukannya dengan makhluk yang lain, sehingga diberikan kesanggupan mengemban amanah  untuk kebaikan dan kebahagian kehidupannya, jika hal ini disadari maka segala bentuk penenindasan, kekerasan dan keserakahan tidak akan tertampilkan. Ada dua kekuatan dalam diri manusia yang saling berhadapan untuk berusaha memenangkan dan mengalahkan yang lain, yaitu hati nurani dan hawa nafsu, dimana hati nurani selalu berkecenderungan pada kebaikan dan kebenaran sehingga meraih kemuliaan karena menghargai nilai kemanusiaan, sedang hawa nafsu berkecenderungan pada keburukan dan kesalahan sehingga kehinaan yang didapatkan karena telah melakukan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka perlu adanya kesadaran diri yang tidak mudah emosi untuk berpikir secara cerdas, bertindak secara tepat dan berucap secara bijak, bukannya memanipulasi data dan informasi sehingga terjadi kebohongan publik, dimana yang salah dibenarkan bahkan dilindungi, sedang yang benar disalahkan dan diintimidasi, sehingga semakin menyuburkan suasana konflik yang terus membawa dendam.
Dalam salah satu bait puisi Muhammad Iqbal " Harapan Kepada Pemuda" dinyatakan :
Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu
Hembuslah panas nafasmu di atas kebun ini
Agar harum-harum narwastu meliputi segala
Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak
hanya berbunyi ketika terhempas di pantai
Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu


Carut marutnya kehidupan ini tidak menyurutkan kita untuk memiliki harapan yang lebih baik, dan itu merupakan bagian dari kesadaran diri atas kedewasaan kita, sehingga ketika diberi amanah atas apapun profesi kita bisa dilakukan dengan penuh kebaikan, ketulusan dan kejujuran dan tidak akan melakukan penyelewengan, kebohongan dan pengrusakan sebagai upaya merubah tata kehidupan yang lebih baik dimana terwujud kesejahteraan, tercipta kedamaian dan keamanan dengan merajut persaudaraan dan kerukunan. Kedewasaan diri untuk komitmen atas amanah yang diberikan, merupakan energi besar untuk perubahan, sehingga berbagai konflik social yang semakin merebak bisa diselesaikan secara arif. Maka tugas kita semua untuk terus menumbuhkan kedewasaan, agar pola pikir  yang sempit dan cenderung represif bisa tercerahkan untuk menguatkan persaudaraan, gaya kebijakan yang sekedar tebar pesona bisa berubah menjadi aksi nyata menegakkan keadilan, kesejahteraan dan kerukunan, sehingga berbagai kesenjangan yang bisa memicu terjadinya konflik bisa didekatkan untuk bisa saling berbagi dalam tali persaudaraan yang penuh keragaman, dan itulah wujud kedewasaan diri. Jadikanlah diri ini menjadi pelopor dalam mencegah terjadinya konflik, agar persaudaraan terwujudkan. ***