Sabtu, 31 Maret 2012

Wawasan Kerukunan

KERUKUNAN YANG DIHARAPKAN BUKAN KEKERASAN
Kerukunan merupakan prasyarat utama dalam kehidupan, sehingga tidaklah mungkin suatu kehidupan bisa berjalan normal dan kondusif manakala kerukunan terkoyakkan, sehingga kita semua apapun latar belakangnya tertantang untuk menjaga kerukunan tersebut. Lebih-lebih kita yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman social budaya, suku, ras,  bahasa, dan agama, sehingga janganlah sampai berbagai keragaman itu dijadikan alat untuk merusak kerukunan yang sudah terbangun sejak lama itu, oleh berbagai kepentingan murahan tanpa mempertimbangkan kehidupan masa depan bahkan semakin mudah melakukan berbagai aksi kekerasan, sehingga putuslah tali persaudaraan, dan rusaklah kerukunan yang selalu kita harapkan.
Kerukunan
K.H.M. Dachlan, sebagai Menteri Agama Republik Indonesia dalam Musyawarah Antar Agama, di Jakarta pada 30 November 1967, mula-mula memperkenalkan kerukunan dalam konteks agama-agama, sebagaimana ditegaskan, “ adanya kerukunan antara golongan beragama merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet Ampera”, pokok-pokok pikiran ini sangat penting menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki falsafah Pancasila dan mengakui Bhineka Tunggal Ika, karena keragaman agama dalam implementasi kehidupan hendaknya sama-sama menjunjung tinggi aspek-aspek kerukunan. Lebih lanjut Menteri Agama H.Alamsyah Ratu Prawiranegara pada masa orde baru itu mencanangkan Tri Kerukunan, yaitu : Kerukunan Intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah. Tri kerukunan ini menjadi sangat penting bagi kehidupan kita, dan itulah yang sangat diharapkan, mengingat akhir-akhir ini betapa seringnya permasalahan kekerasan dijadikan alat pembenar dari berbagai aksi-aksi kekerasannya sebagai misi suci nilai keagamaan yang diyakininya.
Kekerasan
            Beragamnya kekerasan yang sangat memalukan itu sejatinya tidak bisa disanding dengan ajaran agama manapun, lebih-lebih kekerasan merupakan wilayah criminal, sehingga apapun argumentasi pembelaannya sangatlah bertolak belakang dengan misi suci ajaran agama. Nilai-nilai agama yang mengajarkan etika, perdamaian, persaudaraan, kerukunan dan kepedulian kemanusiaan, telah dibuang dalam kubangan yang tidak bermoral bahkan cenderung destruktif hingga melawan nilai-nilai kemanusiaan, mereka melawan apa yang tidak sama dengan dirinya, dan ironisnya membanggakan akan aksi jahatnya meski nurani menentangnya. Al Qur’an telah mengingatkan dalam surat Az-Zukhruf (43):37:  Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. Menegakkan kebenaran jika tidak cerdas akan disalah gunakan hingga menghalalkan kekerasan dan dianggap sesuai petunjuk-Nya, jika ini yang terjadi maka inilah sejatinya bencana kehidupan, dimana kebenaran dan kemuliaan wahyu dilecehkan oleh perbuatan yang penuh nafsu kejahatan. Melakukan aksi kekerasan dianggap bagian dari ritual keagamaan, pertumpahan darah dan dendam yang membara dianggap jalan kemuliaan hingga menemui kematian untuk  mendapatkan “bidadari syurga”.
Maraknya aksi-aksi kekerasan yang terus silih berganti dengan membawa korban luka dan kematian dalam konteks kerukunan merupakan pertanda masih adanya kecurigaan, dendam,permusuhan dan ketidak adilan, dimana system kehidupan yang seharusnya transparan dan berkeadilan untuk kesejahteraan dan keamanan berubah menjadi arogan dan kesewenang-wenangan, sehingga kerukunan yang diharapkan menjadi kekerasan yang memalukan. Ternyata kondisi seperti ini tidak muncul begitu saja, tetapi terkait dengan scenario global dengan memanfaatkan beberapa pihak tertentu untuk didorong melakukan kekerasan berlabel keagamaan, sehingga merasa perjuangan ini adalah misi suci, dan mereka tidak sadar dijadikan kelinci percobaan untuk menutupi actor yang selama ini menjadi otak penggeraknya. Isu-isu agama menjadi daya tarik yang nyaris sempurna untuk menghancurkan kerukunan, karena agama yang menjadi keyakinan yang sangat special bagi para penganutnya jika terganggu akan menyulutkan rasa permusuhan, lebih-lebih dikaitkan dengan isu-isu social dan ekonomi sehingga kerukunan yang dibanggakan akan menjadi dendam permusuhan dan halal melakukan kekerasan.
Sempitnya wawasan beragama bisa memicu terjadinya konflik kekerasan, Komaruddin Hidayat (2003) menyatakan, “ agama (-agama) dengan segala klaim kebenarannya memang bisa menjadi dasar sosiologis penyebab konflik - konflik social – politik, Dan untuk merelativir potensi-potensi kekerasan yang bisa muncul dari orang yang beragama – yang bisa berakar dari klaim-klaim atas kebenaran yang sepihak ini – tampaknya bisa diatasi dengan memperluas pandangan dan visi religiositas dari diri orang yang beragama”, sehingga kita yang mengaku beriman pada-Nya terpanggil untuk terus mengembangkan wawasan beragama kita, karena masih ada diantara saudara kita yang melakukan pengerdilan paham agama sehingga tidak leluasa bergerak memberi solusi atas problem social yang ada. Sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2) : 197: Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. Bekal yang terbaik dalam mengarungi kehidupan ini adalah takwa yang mampu mendayagunakan kemampuan akalnya untuk menyingkap dan mengungkap rahasia-rahasia ciptaan-Nya, sehingga mampu memberi solusi kehidupan yang mencerahkan. Beragamanya mampu memberikan kedamaian, keamanan dan kerukunan karena menyadari kebesaran tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang tersusun secara harmonis, sehingga ketika bermasyarakat suasana keharmonisan akan diperjuangkan. Kesadaran otentik inilah sebagai energy perubahan menjadikan kehidupan lebih bermakna, sehingga ketika munculnya kekerasan sejatinya menyimpang dari kesadaran otentik yang telah terpatri dalam nafas kehidupannya.
Aksi kekerasan diantaranya berupa teror bom yang dikaitkan dengan ajaran agama merupakan bukti betapa rapuhnya landasan keyakinannya, karena tidaklah mungkin ajaran agama yang penuh kemuliaan disinergikan dengan kekerasan, sehingga mereka terus berupaya dengan segala rekayasa untuk menjadikan kekerasan menjadi bagian utama keyakinan. Ditambah hadirnya pihak-pihak tertentu yang terorganisir dan sistematis untuk melakukan tipuan, rayuan hingga pencucian otak, semakin meyakinkan perjuangannya, sehingga para korban terus bertambah akibat aksi brutalnya.
Semangat membangun kesadaran untuk bisa hidup rukun dan berdampingan, harmonis dan sinergis sangat kita harapkan. Kerukunan terwujud dari kualitas diri yang sadar dan bertanggung jawab atas kehidupan yang kondusif, serta tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hasutan dan cemoohan, sebaliknya kekerasan merupakan sikap diri yang tanpa kendali untuk mengumbar nafsu keserakahan penuh arogan. Suasana kehidupan yang rukun jangan mudah dipertaruhkan oleh berbagai bentuk kepentingan yang menyesatkan, sebab hancurnya kerukunan merupakan awal hancurnya peradaban dan kemanusiaan, dan untuk pemulihan membutuh modal social yang besar, untuk itu menjaga kerukunan adalah tanggung jawab kita semua, jika ada masalah social bisa didialogkan untuk bermusyawarah mencari solusi yang tepat dan berkeadilan bukan melalui kekerasan. Jadikan hidup ini menjadi bagian dari membangun kerukunan.
.DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama                          : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Tempat/Tgl Lahir     : Surabaya, 13 Juli 1965
A l a m a t                   : Kupang Praupan II/18 Surabaya
Telphon                      : 08155034055 / 031 70324765
Email                          : andihariyadi@ymail.com
Pekerjaan                   : Guru
Pengalaman Oragisasi :
Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Surabaya (2010 – 2013)
Wakil Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya (2010-2015)




Bahaya Kemiskinan

KEMISKINAN SEMAKIN TERLANTARKAN
Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
            Berdasarkan data yang ada, angka kemiskinan di Indonesia telah menurun hingga menjadi 16,67% atau 36,76 juta orang, meski demikian angka kemiskinan tersebut sangatlah besar, sehingga terpampanglah wajah-wajah bopeng kemiskinan yang sangat mengerikan dan ironisnya kebijakan pengentasan kemiskinan semakin terabaikan. Pada hal tahun 2015 telah dicanangkan sebagai tahun pengentasan kemiskinan hingga mencapai  8 % dari sekitar 300 juta jumlah penduduk Indonesia, dan itupun tetap berjumlah sangat besar, sehingga problem kemiskinan ini sangatlah serius, namun kurang focus, justru sibuk dengan hal-hal yang kurang strategis dan terus digulirkan secara terus menerus sehingga melupakan jeritan dan tangisan anak-anak bangsa yang belum pernah mencicipi kelezatan kekayaan bangsa yang melimpah.
            Problem kemiskinan ini juga mendapat perhatian besar oleh PBB sejak tahun 2000 sehingga dibentuklah berbagai forum untuk untuk upaya pengetasan kemiskinan, diantaranya Millennium Development Goals (MDGs), sebagai indicator mengukur keberhasilan dalam memerangi kemiskinan. Mengingat Indonesia yang sudah meratifikasi MDGs dan waktunya tinggal 4 tahun sepertinya masih jauh dari terentaskan, bahkan semakin terpuruk, terlantar dan diskriminasi dalam program kesejahteraan. Alih-alih mengentas kemiskinan justru yang ada adalah gaya hidup mewah, foya-foya, memperkaya diri sendiri dengan jalan korupsi.
            Amanat Undang-Undang  Dasar 1945, bahwa Negara bertujuan meningkatkan kesejahteraan umum, menangani dan memelihara orang orang miskin serta anak-anak terlantar. Landasan ini seharusnya menjadi prioritas utama dan pertama dalam memutuskan kebijakan yang ada, sehingga para elite negeri ini diharapkan bisa benar-benar focus atas problem kemiskinan ini, bukannya sibuk dengan masalah-masalah untuk melangengkan jabatan agar mendapat tunjangan yang lebih besar dan memuaskan, ataupun diciptakan konflik-konflik rekayasa sehingga melupakan tujuan berbangsa dan bernegara. Tidak seharusnya program pengentasan kemiskinan terkendala oleh keterbatasan financial, sebab amanat Undang-Undang Dasar tersebut telah mengikat dan hendaknya tetap menjadi komitmen utuk peningkatan pendapatan per-kapita, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat dan pencerdasan kehidupan bangsa.
            Bank Dunia memberikan ukuran kemiskinan adalah penghasilan yang dibawah US $ 2/hari atau sekitar Rp 600.000,oo / bulan, sehingga akan semakin menambah besaran warga masyarakat yang hidup dalam jeratan kemiskinan dan ketertindasan meliputi :1) Kelangkaan, berkaitan dengan kelangkaan atau kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Ketidakmampuan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar  merupakan permasalahan serius, sebab ada puluhan juta saudara kita papannya (tempat tinggal) tidak layak seperti di bawah kolong jembatan, pelataran toko/Maal, dalam gerobak dan gubuk reot, pelataran makam, dan lainnya, sandangnya compang camping, lusuh dan kumuh, dan pangannya jauh dari kecukupan gizi hanya sekedar pengganjal lapar 2) Ketidakpastian, berkaiatan dengan tidak adanya harapan, kesuraman masa depannya untuk terlepas dari problem kemiskinan. Kebijakan pengentasan kemiskinan sudah ditetapkan, namun hanya tinggal kebijakan sehingga tidak bijak, karena warga masyarakat miskin semakin terjebak dalam kemiskinan secara turun temurun tanpa perubahan perbaikan kehidupan yang lebih sejahtera, disisi lain yang kaya semakin bergelimang harta hingga mensejahterakan tujuh keturunan. Berbagai janji membela kepentingan orang miskin menjadi semakin otupis saja, bahkan kemiskinan telah dijadikan alat untuk pencapaian kedudukan para elite. 3) Ketidakberdayaan, berkaitan ketidak mampuan penguasa dalam memberikan ruang perubahan kepada masyarakat yang termarginalkan dalam mendapatkan kesejahteraan, baik berupa akses jaringan, peluang dan pemberdayaan. Dominasi kekuatan global yang cenderung kapitalistik sehingga mencengkram dan mencekik potensi pengusaha kecil untuk terus dimatikan, gurita kekuasaan bisnis dan industri merambah mulai dari hilir  hingga ke hulu.
            Sepertinya ada ketidakadilan dalam kebijakan pengentasan kemiskinan, satu sisi para pemodal besar mendapat berbagai fasilitas keistimewaan untuk pengamanan bisnisnya, sedang disisi lain masyarakat kecil yang melakukan bisnis mikro semakin ditelantarkan. Seharusnya kita bisa belajar banyak pada Muhammad Yunus warga Bangladesh peraih penghargaan nobel berkat upayanya mengentas kemiskinan secara maksimal melalui program Grameen Bank, yang telah membantu jutaan perempuan miskin di sana untuk diberdayakan melalui organisasi kredit mikro. Grameen Bank dirancang untuk membantu orang miskin dengan pinjaman khusus  baik untuk, perdagangan, pendidikan, perumahan, dan lainnya, serta pinjaman untuk pengemis sehingga mampu membebaskan ribuan pengemis untuk tidak meminta-minta lagi, bahkan beliau meyakinkan bahwa orang miskin paling miskin pun “layak mendapat kredit”, obsesinya berusaha untuk bisa membantu lima ratus juta rakyat miskin di dunia lepas dari kemiskinan dengan bantuan kredit mikro.
            Kondisi kemiskinan di negeri kita sepertinya belum adanya perubahan yang memuaskan bahkan semakin berkelanjutan,  terwujudkannya masyarakat yang adil dan makmur masih jauh dari harapan, bahkan korupsi semakin mantap dan meyakinkan sehingga menambah keterpurukan bangsa. Seharusnya masyarakat miskin lebih diperhatikan untuk diberdayakan agar meraih kesejahteraan ternyata jadi orang miskin justru disalahkan dan dihina serta dianggap beban dalam pembangunan nasional, sedang mereka yang sukses menghamburkan dan menyalahgunakaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri sepertinya lepas dari jeratan hukun bahkan semakin membanggakan diri meski berdiri diatas jeritan rakyat miskin. Budaya Hedonisme semakin menenggelamkan masyarakat yang saat ini hidup dalam kemiskinan, maka kepedulian kita sangat diharapkan sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Ma’un agar menjadi manusia yang sejati bukan manusia imitasi yang sibuk untuk kepentingan diri sendiri. Kedermawanan kita harus dimaksimalkan dengan cara yang lebih strategis agar masyarakat yang miskin bisa meraih kesejahteraan, kepedulian kita sangat diharapkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat hingga hidup secara layak.  Kemiskinan jangan ditelantarkan.

Wawasan Kebangsaan

NILAI KEMERDEKAAN
Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Sudah menjadi tradisi bagi seluruh anak negeri, pada bulan Agustus seperti ini tergelar berbagai lomba, terpasang aneka asesoris dengan dominasi warna merah dan putih menghiasi di berbagaai sudut kota dan desa. Wajah ceria dan bangga menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke 65, seakan akan tanpa beban, berbagai perayaan dan pesta kemerdekaan dimeriahkan, semua tumpah ruah penuh kegembiraan menyambut detik-detik peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, sejatinya diraih dengan penuh pengorbanan dalam waktu yang sangat panjang serta bukan hadiah yang diterima secara cuma-cuma dari para penjajah, dari semangat pengorbanan para pahlawan itulah sehingga membentuk karakter diri sebagai bangsa  pejuang, tidak mengenal putus asa meski terus disiksa, tidak mengenal kata mundur dari perjuangan meski digempur dari segala penjuru negeri dengan senjata militer yang mematikan, tidak mengenal kata menyerah meski kesejahteraan rakyat diperparah, yang ada adalah pantang putus asa, pantang mundur dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan untuk meraih kemerdekaan, kedaulatan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Para pahlawan sangat sadar dan paham betul betapa perih dan sedihnya penjajahan itu, karena kedaulatan dan kehormatan bangsa diinjak-injak, segala potensi kekayaan negeri terus dicuri, upaya perjuangan segera dilenyapkan, sehingga kemiskinan dan kebodohan serta ketidakadilan adalah pemandangan keseharian yang sulit dilupakan. Kondisi busung lapar dan kekurangan gizi ditengah melimpahnya aneka produk makanan tetapi hanya untuk penguasa. Anak negeri dipekerjakan secara paksa tanpa imbalan yang selayaknya, air mata meleleh dan darahpun tumpah hanya dipandang sebelah mata saja
Perjuangan para pahlawan yang begitu maksimal, ikhlas dan penuh pengorbanan merupakan keteladanan yang luar biasa untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, jika kita tidak bisa mengisi kemerdekaan untuk kemajuan dan kesejahteraan betapa ironisnya negeri ini. Toto Tasmara dalam karyanya “Spiritual Centered Leadership”, Ketika masih dalam suasana penjajahan Belanda, Soekarno memiliki daya imaginasi yang kuat. Dia mampu membaca nilai-nilai bangsa, kegetiran dan persoalan yang dialami bangsa Indonesia, sehingga lahirlah sebuah visi yang dirangkum dalam dua kata “ Indonesia Merdeka”. Cara pandang inilah sehingga menjadi daya dorong untuk menggerakkan sebuah misi suci, misi kemanusian, dan misi penyelamatan untuk terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia, dalam perkembangannya, menurut Nurcholis Madjid dalam “ Indonesia Kita”, dinyatakan; Semakin sedikit orang yang dengan sungguh-sungguh berpikir dan bertindak untuk kepentingan seluruh bangsa, menurut Bung Hatta, barangkali sekarang ini pun Indonesia adalah sebuah Negara besar, yang hanya menemukan orang-orang kerdil. Pernyataan ini patut kita telaah kembali lebih-lebih ketika kita sedang merayakan kemerdekaan Republik Indonesia ini, karena akan mampu menyadarkan kita bahwa betapa seringnya upaya-upaya menodai kemerdekaan ini akibat sempitnya wawasan kebangsaan dan kerdilnya kemampuan dalam memanage wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kandungan kekayaan yang luar biasa besarnya ternyata belum mampu memberikan rasa keadilan dan wujud kesejahteraan yang selama ini di idam-idamkan.
Upaya merayakan kemerdekaan yang setiap tahun kita semarakkan dengan anggaran yang sangat besar ternyata masih perlu penataan yang lebih komprehensif lebih-lebih dihadapkan pada persaingan global, semisal penerapan perdagangan bebas ASEAN-CINA (ASEAN-Cina Free Trade /ACFTA) yang sudah berjalan enam bulan ini menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari hingga Mei 2010, defisit  perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai 2,11 Milyar dolar AS, factor penyebabnya karena konsumen Indonesia menyukai barang-barang elektronik impor terutama dari Cina. Masyarakat kita seakan ketergantungan dengan produk-produk tersebut, dan ironisnya telah menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Kenyataan seperti ini sejatinya telah menghilangkan citra diri sebagai bangsa yang besar sekaligus bangsa yang tangguh dalam perjuangan, dimana upaya pembiaran untuk tetap menjadi posisi konsumtif tanpa ada upaya untuk bangkit menjadi produktif dengan karya-karya yang monumental sehingga patut disayangkan, karena sejatinya nafas kemerdekaan adalah perubahan untuk menuju yang lebih baik.
Sepertinya kita telah terhipnotis untuk bangga menjadi penonton, bangga menjadi konsumen tanpa harus bersusah payah melakukan produktifitas, dan apa jadinya jika anak-anak kita yang terlahir dari rahim pejuang tetapi enggan melakukan perjuangan, enggan melakukan perubahan yang besar untuk kemajuan dan kesejahteraan, bisanya hanya mengandalkan kroni dan kolusi, kemampuannya sebatas jago kandang, tragisnya masih saja melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri tanpa peduli dengan jeritan nasib rakyat, sehingga yang ada adalah merdeka baginya dan tidak untuk lainnya karena terjebak oleh kebijakan yang diskriminatif.
Momentum kemerdekaan ini seharusnya mampu mengantarkan pada diri ini untuk mengevaluasi atas beberapa kinerja dan kebijakan yang telah dilakukan, apakah sudah sejalan dengan nilai kemerdekaan ataukah justru menjajah kedaulatan baik dalam kewilayahan geografi dan pemerintahan, poltik dan ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta kebudayaan. Merdeka adalah kita berdaulat sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia.

KELANA DAKWAH :

“ MUHIBAH KE KUALA LUMPUR MALAYSIA”
Malaysia sebagai Negara yang serumpun dengan Negara Indonesia, sehingga sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian khususnya dalam bidang social dan keagamaan, karena dari fenomena ini kita bisa mengambil pelajaran atas capaian keberhasilan serta membuang hal-hal yang dirasa kurang berkenan. hal ini terkait karakteristik kebijakan dari masing-masing Negara tersebut. Muhibah ke Kuala Lumpur Malaysia bersama para tokoh agama yang ada di Kota Surabaya dilaksanakan pada hari Selasa hingga kamis, tanggal 13 – 15 Desember 2011, sebagai upaya untuk melihat dari dekat dinamika social dan keagamaan disana.
Lokasi kunjungan ke : Kantor KBRI Kuala Lumpur, Sekolah Internasional KBRI Kuala Lumpur, serta Rumah-Rumah Ibadah di Kuala Lumpur: Masjid Negara Kuala Lumpur Malaysia, Batu Café  Temple (Pura), Cathedral of Saint Mery Malaysia 1894, Peresekutuan ( Thean Hou Temple)
Pada hari pertama, rombongan berkunjung ke Kantor KBRI Kuala Lumpur Malaysia, sebagai satu-satu kantor perwakilan Negara yang super sibuk di Kuala Lumpur Malaysia, hal ini terlihat dari suasana berjubelan para WNI untuk mengurus dan menyelesaikan permasalahan dengan berbagai macam latarbelakang yang ada. Kunjungan ke KBRI difokuskan pada aspek permasalahan sekitar TKI dan kehidupan keagamaan. Pihak KBRI diwakili bapak Hendra S Pramana, yang menjabat counselor economy, sedang satu-satunya dari perwakilan tokoh agama yang hadir adalah Ustad M. Arifin Ismail sebagai Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malasysia.
Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Bapak Hendra, diantaranya: Sebenarnya ada banyak dinamika yang menggambarkan keberadaan para tenaga kerja dan tenaga ahli yang ada di Malaysia, hanya saja permasalahan TKI yang lebih dominan, sehingga para tenaga ahli Indonesia yang professional dan sukses bekerja di Malaysia kurang dipubikasikan, baik sebagai peneliti, ahli astronomi dan lainnya. Adapun  beberapa permasalahan TKI yang sering ditangani oleh KBRI, diantaranya : Legalitas Ketenagaan TKI,  Kekerasan terhadap TKI, Kecelakaan Kerja, Kriminalitas,Ketidak sesuaiannya dalam kesepakatan kerja. Sedang bidang kerja yang digeluti para TKI diantaranya bidang : Perkebunan, Tata Ruang / Kontruksi, Tenaga Profesional, Layanan Jasa, dan lainnya. Pihak KBRI juga melakukan upaya pembinaan bagi para TKI baik yang menyangkut legalitas TKI, Perlindungan TKI dan lainnya sebagai bentuk keberpihakan terhadap warga Negara Indonesia yang bermasalah di Malaysia. KBRI juga membuka Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, meski dengan segala keterbatasan yang ada selalu berupa memberikan layanan pendidikan bagi warga negera Indonesia yang ada di Malaysia dengan apapun profesinya. Ada permasalahan bagi anak-anak TKI yang bekerja di sector perkebunan, sehingga tidak bisa sekolah di Kuala Lumpur karena mereka mengikuti para orang tuanya yang kerja disana, sehingga pihak KBRI membuka Learning Cenre (Pusat Pendidikan) dikantong-kantong warga Negara Indonesia yang bekerja di pedalaman yang kerjasama dengan Atase Pendidikan Malaysia untuk memberikan terobosan dalam memberikan layanan pendidikan.
Ustad M. Arifin Ismail yang menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia (PCIM Malaysia), telah memaparkan sekitar kehidupan beragama di Malaysia, diantaranya :
1.      Dasar Rukun Negara
Percaya pada Tuhan, dan Islam menjadi agama resmi federasi / Persekutuan. Dan agama lain dimanapun di Malaysia diberikan kebebasan. Ketua agama adalah para Sultan  di negeri masing-masing.
Yang di-Pertuan Agong adalah Ketua Negara yang telah diperuntukkan oleh Perlembagaan. Gelaran rasmi yang penuh bagi baginda adalah Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong. Yang di-Pertuan Agong dilantik setiap lima tahun mengikut giliran yang telah ditetapkan oleh Majlis Raja-Raja.
2.      Keberadaan Agama
Berdasarkan Rukun Negara tersebut, sehingga Negara Malaysia memberikan penghormatan dan kebebasan pada tiap – tiap pemeluk agama, sebagaimana data pada tahun 2010 yang terdiri dari :
1)      Islam sebesar 61,3 %
2)      Budha sebesar 19,8 %
3)      Kristen/Katolik, sebesar 9,2 %
4)      Hindu, sebesar 6,3 %
5)      Kong Hucu, Tao, Sikh 1,3 %
6)      Lain-Lain (Tidak beragama, agama primitive, mengaku agama sendiri)
Hubungan agama  tidak ada masalah, hanya karena pengaruh media masa yang direkayasa oleh isu politik sehingga menimbulkan masalah.
Masing-masing agama diberikan penghormatan untuk mempunyai tempat ibadah, asalkan tidak mengganggu ketertiban umum dan kecemasan warga sekitar. Ada beberapa permasalahan keagamaan diantaranya : Pemahaman keagamaan, merebaknya ajaran sesat, Penyebutan kata Allah, Sholat, dan Qur’an yang sempat meresahkan warga akhirnya bisa diselesaikan secara bijak oleh keputusan Sultan. Sedang tentang penentuan hari Raya tidak ada masalah karena sudah ada bidang yang secara professional menanganinya, sehingga untuk yang mengumumkan diberikan pada Raja dibawah Majelis Raja-Raja di Keraajaan Malaysia.
Pada hari kedua, rombongan berkunjung sekaligus berdialog ke Sekolah Indonesia Kuala Lumpur Malaysia, yang diterima Langsung oleh Kepala Sekolah Ibu Elslee Y.A. Shetyoputri, yang didampingi oleh para Wakil Kepala Sekolah dan Dewan Guru beserta para siswanya. Sekolah Indonesia Kuala Lumpur saat ini baru bisa menampung 420 siswa mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dari 2 juta jiwa Warga Negara Indonesia di Malaysia.
Dialog di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur benar-benar terkesan dalam memahami dan membina semangat nasionalisme di negeri Jiran, dimana melalui pendidikan berkarkter yang sudah diterapkan dalam setiap pembelajaran. Visi Pendidikan Berbudi dan Berbudaya, dan itu disosialisasikan disetiap hari dalam pemebelajarannya dengan menunjukkan 1 hari 1 kebaikan. Pendidikan bukan sekedar nilai angka tetapi yang lebih utama adalah nilai budi yang diambilkan dari Pancasila, dimana Sila Pertama dijadikan landasan berbudi, sehingga pemahaman dan pembinaan keagamaan benar-benar terwujudkan dalam setiap tindakannya, yang dijabarkan dalam bentuk :  Integritas,, Kejujuran, Kasih Sayang, Kepedulian, Respek, Toleransi, Demokrasi. Tanggung Jawab, Profesionalisme, Kepatutan, Kedisiplinan, Kejujuran. Sehingga para lulusannya benar-benar mampu bersaing dengan para pelajar dari berbagai Negara yang belajar di Malaysia, khususnya di Perguruan tinggi yang terkenal di Malaysia, dan putra-putri Indonesia ternyata bisa berkompetisi secara sehat dan berprestasi atas bidang yang di dalaminya.
Permasalahan pendidikan khususnya di luar Negeri, memeliki ke khususan karena menyangkut upaya memberikan perlindungan bagi seluruh WNI di Malaysia, sebagaimana misi diplomatik. Demikian pula terkait dunia pendidikan bagi WNI merupakan masalah yang berat karena kesempatan mendapatkan pendidikan sangat  terbatas baik karena faktor social ekonomi, factor geografis dan fasilitas pendidikan yang memadai. Maka diupayakanlah selama 2 tahun terakhir ini untuk bisa mendapat ijin dari Pemerintah Malaysia guna mendirikan Learning Centre bagi anak-anak TKI yang mengikuti kerja bersama para orang tuanya  yang bekerja di Perkebunan dan Buruh Pabrik. Di Kinibalu ada 50.000 anak terlantar pendidikannya dan Pemerintah Malaysia sudah memberikan ijin untuk operasionalisasi Learning Centre disama, demikian pula di Kucing Serawak ada 2.000 anak yang terlantar pendidikan dan masih ada dibeberapa daerah lainnya. Pendidikanlah yang bisa menjadi pemutus mata rantai dari problem kemiskinan disana, sehingga upaya memaksimalkan Learning Centre diharapkan mampu memberikan perubahan bagi kehidupan para TKI dan anak-anaknya. Memberikan layanan pendidikan bagi anak TKI khususnya di daerah perkebunan diharapkan menjadi perhatian serius bagi pejabat Negara Indonesia, agar upaya memberikan layanan dan perlindungan bagi WNI bisa diwujudkan secara berkeadilan.
Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I




KEJUJURAN PENCERAH KEHIDUPAN

Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Jika kita mencoba barang sejenak  untuk merenung, berpikir secara mendalam tanpa dipraktekkan tentang ketidakjujuran, maka terlintaslah perubahan keindahan panorama kehidupan menjadi mengerikan, menakutkan, saling menyerang meski tidak terus terang, saling menjegal teman seperjuangan untuk disingkirkan, mereka akan menerkam berbagai peluang seperti harimau kelaparan untuk kepuasan diri sendiri yang tak peduli membawa korban. Ketidakjujuran berakibat kehidupan berantakan, yang salah diupayakan untuk dimenangkan, dan yang benar diupayakan disalahkan untuk disingkirkan, mereka yang dekat dengan kekuasaan selalu dilindungi dengan berbagai alasan, sedang yang jauh apalagi kritis dengan kebijakan penguasa akan terus dikejar, dan diteror secara terbuka dan  berkepanjangan.
Jalaludin Rummi, seorang penyair sufi pernah mengungkapkan, “ Saudaraku, engkau adalah pikiranmu, bila engkau pikirkan mawar, maka engkau taman bunga. Jika engkau pikirkan api, maka engkau tungku perapian”. Ungkapan ini benar-benar menyadarkan kita tentang potensi dan peluang yang ada padi diri ini, bisakah menjadikan diri bagai taman mawar yang indah dan aroma menyegarkan, sehingga orang sekitar bisa saling menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi etika untuk bisa hidup dengan penuh kaharmonisan, ketulusan, jauh dari kebohongan yang menyakitkan. Ataukah kita bagai api yang selalu membara karena tungku perapian telah menghunjam dalam diri untuk terus membakar disekelilingnya dengan penuh nafsu serakah, dendam yang sejatinya penuh kehinaan.
Kejujuran Rasulullah Muhammad SAW, sebagai suri tauladan kita, sangat mengagumkan baik kawan maupun lawan, sehingga Abu Jahal sebagai pemimpin yang sangat keras perlawanannya terhadap Rasulullah, menyatakan, “ sesungguhnya kami tidak mendustaimu, tetapi kami mendustai ajaran yang kamu bawa”. Tokoh utama sekaliber Abu Jahal saja mengagumi kepribadian kejujuran Rasulullah, meski tidak setuju dengan ajarannya, sehingga jelas sekali bahwa kejujuran itu mulia, karena akan mampu memberikan pencerahan kehidupan, dari kondisi hina menjadi mulia, dari kondisi rakus menjadi penderma, dari kondisi jahat dan penuh permusuhan menjadi aman penuh persaudaraan. Salah satu sifat Rasulullah yang utama adalah Ash Shiddiq atau jujur, yang sudah tumbuh sejak masa kanak-kanak hingga diusia dewasanya, bahkan selama hidupnya kejujuran menjadi modal utamanya sehingga pantaslah menjadi suritauladan bagi kehidupan kita. Ketika Rasulullah wafat para Sahabat berduka, dan datanglah seorang dari suku Badui yang selalu menanyakan kehebatan Rasulullah itu kepada para Sahabat, ternyata diketahui kejujuran Rasulullah sangat luar biasa. Kejujuran pada diri sendiri, umat dan Kholiq-Nya inilah yang mampu mengantarkan kesuksesan hidupnya dalam mengemban amanah mensyiarkan ajaran Islam di tengah-tengah dominasi runtuhnya moral, pola hidup brutal dan liar, sehingga kejahiliyaan tercerahkan menjadi beradab, agar bisa hidup yang harmonis,  keteladanan hidup Rasulullah mampu menjadi penerang menuju kemuliaan.
Keteladanan kejujuran Rasulullah SAW, saat ini bagai diterjang tsunami kebohongan yang secara liar dan brutal terus merusak dan menenggelamkan serta menghanyutkan pondasi kejujuran hingga bangunan kemuliaan luluh lantak berantakan diterjang tsunami kebohongan. Fenomena mudahnya melakukan ketidakjujuran telah menjadi trade mark disebagian masyarakat dari kelas akar rumput hingga para elite yang terus berpesta dengan kebohongan demi pemuasan gengsi dan nafsu serakahnya. Siami sadar ketika putranya dijadikan obyek dan media menyontek masal di SDN Gadel Tandes Surabaya demi gengsi agar ujian nasional bisa lulus, meski mendapat perlawanan, teror dan berbagai hujatan dari para tetangganya, nurani Siami dan Aam putranya tetap tegar, sehingga pantaslah menjadi “pahlawan kejujuran”. Kita harus banyak belajar dari peristiwa ini, meski dari sosok Siami dan Aam, namun memiliki “berlian” kejujuran yang selama ini kejujuran selalu terpendam dalam lumpur kesombongan, sehingga kejujuran harus dikalahkan.
Malu rasanya ketika berbagai kasus korupsi dan penyuapan untuk suksesnya karier demi meraup keuntungan yang menggiurkan hingga Negara dirugikan trilyuan rupiah terus saja diamankan, dilindungi, ditutupi sehingga semakin meyakinkan adanya konspirasi jahat di negeri ini. Apa jadinya negeri ini jika para pemimpin dan penguasanya sangat leluasa mengatur dan menutupi kebohongan, berbagai prosedur yang semestinya dijalankan namun begitu mudah untuk dilanggar, karena orientasinya menggunakan strategi “Aji Mumpung”, dimana kesempatan berkuasa inilah saat yang tepat untuk melakukan aksi jahatnya yang direkayasa sedemikian rupa  demi memuluskan penggarongannya. Negara benar-benar ringkih menghadapi kenyataan ini, karena Negara dianggap milik dirinya, dan dirinyalah yang berkuasa atas negeri ini, sehingga meski melakukan kebohongan itu adalah bagian dari kebijakan, sungguh ironis dan ngeri sekali kehidupan ini.
Semangat membangun kejujuran sangat diharapkan untuk melepaskan dari berbagai keterpurukan dan kehinaan, karena kejujuran bagai pelita yang menerangi kegelapan kebohongan, kejujuran sebagai energy kehidupan untuk menguatkan nurani sehingga mampu melucuti berbagai kehinaan yang memalukan. Hidup ini membutuhkan kejujuran karena ketika bekerja akan dilakukan secara transparan, procedural dan professional; ketika dia berkarya akan menampilkan karya yang membanggakan dan mengagumkan; ketika dia mengemban amanah dilakukan secara bijaksana penuh tanggung jawab. Hidup yang bersinergi dengan kejujuran akan menjadikan hidup ini bermakna, karena memang hidup ini bukan untuk main-mainan atau kesia-siaan (QS:23:115), tetapi hidup ini untuk mengemban misi kemanusiaan dan kemuliaan. Meski manusia diberikan kebebasan untuk memilih tetapi dia tidak sepenuhnya menguasai jalan hidupnya sendiri, dibutuhkan wahyu dan petunjuk-Nya sehingga dia bermoral dan bermartabat, manusia mencapai kesucian moral membutuhkan bantuan-Nya, sehingga dari kesadaran inilah manusia akan komitmen dengan kejujuran meski beresiko dan penuh tantangan tidak menyurutkan menjadikan taman bunga kehidupan untuk menebarkan aroma kejujuran. Kejujuran baginya adalah modal untuk meraih kemuliaan, sehingga kejujuran harus dipertahankan, karena kejujuran pencerah kehidupan.Jadikan diri ini yang pertama untuk komitmen dengan kejujuran.

KEJUJURAN ATAU KEBOHONGAN

Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Al Maidah : 119
tA$s% ª!$# #x»yd ãPöqtƒ ßìxÿZtƒ tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNßgè%ôϹ 4 öNçlm; ×M»¨Yy_ ̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 zÓÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÊÒÈ
119.  Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar".
Rasulullah Muhammad SAW dalam mengemban tugas dakwah Islam dimasyarakat, telah dibekali 4 sifat yang luar biasa pengaruhnya guna mewujudkan perubahan pada kebaikan ketika berbagai bentuk keserakahan, kesewenangan dan kebohongan begitu kuat mendominasi kehidupan jahiliyah, namun Rasulullah mampu konsisten dengan empat sifatnya yaitu : 1) Shiddiq yaitu benar perkataan dan perbuatan, apa yang diucapkan dan dilakukan adalah sama, bukanlah ketidakjujuran atau kebohongan apa yang dilakukannya,  2) Amanah yaitu terpercaya atau dapat dipercaya, bukanlah pengkhianat yang lalai dari amanat 3) Fathonah, yaitu cerdas, tidaklah mungkin Nabi Muhammad SAW itu bodoh yang tidak mengerti apa-apa 4) Tabligh, yaitu menyampaikan wahyu, tidak ada yang disembunyikan apa yang disampaikan, semuanya dilakukan untuk mengajak pada kebenaran karena saat itu sudah tidak ada bedanya antara yang haq dan yang bathil, justru para elite menjadi pelopor mengkampanyekan kebathilan secara brutal dan liar. Keberadaan Rasulullah Muhammad SAW yang berada ditengah pusaran kejahiliyaan tentunya mendapat perlakuan yang kasar, keras dan kejam, sehingga ayat di atas menjadi penenang dan harapan untuk terus termotivasi melakukan kebenaran, sebab seberapa berat tantangan yang menghadang tidak akan mengundurkan barang setapakpun untuk melakukan kebenaran yang telah diwahyukan bukan berdasar kemauan hawa nafsu diri yang penuh keserakahan sehingga menghalalkan kebohongan. Atas prestasi kemuliaan itu maka selayaknyalah mendapat syurga dan itulah keberuntungan yang paling besar.
Saat ini seringkali kita saksikan berbagai benturan antara kepentingan menegakkan kejujuran atau memenangkan kebohongan, maka sebagai manusia yang telah diberikan kebebasan untuk memilih bukan berarti bebas memilih tanpa petunjuk wahyu-Nya, karena melalui petunjuk wahyu-Nya itulah kita akan menjadi pribadi yang sadar akan tugas kemuliaan, sedang jika kita berpaling dari petunjuk wahyu-Nya berarti kita berada dalam kehinaan yang sehina-hinanya, karena berbagai potensi dirinya ditelantarkan dan lebih mementingkan nafsunya. Stikma negative  dari sebagian masyarakat juga semakin mendorong untuk enggan melakukan kejujuran, karena jujur dianggap hidupnya  akan hancur, sedang berbohong menjadikan  hidup akan makmur. Kondisi seperti ini sebagai akibat lebih mengedepankan nafsu dari pada wahyu, kejujuran yang penuh kemuliaan tersingkirkan oleh keserakahan nafsu kehinaan.
Kejujuran dan kebohongan adalah dua sifat manusia yang sangat bertolak belakang sehingga implikasi dari perbuatan tersebut juga berbeda, yang pertama membawa kebahagiaan yang sesungguhnya karena memang selalu berorientasi pada kebenaran yang senantiasa diperjuangkan untuk dimenangkan meski banyak tantangan, sedang yang kedua membawa kebahagiaan yang semu dan rapuh karena memang orientasi hidupnya untuk kesalahan meski direkayasa sehingga dianggap benar, maka kegelisahanlah yang menghantuinya karena hidupnya telah menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Kejujuran akan menjadikan hidup ini tercerahkan karena tidak ada yang disembunyikan, kinerjanya procedural sesuai mekanisme yang ada;  professional sesuai kompetensinya; dan transparan tidak ada yang dialih fungsikan untuk kepentingan pribadi;   serta berkualitas tinggi karena sadar bahwa ke depan kompetisi yang semakin mengglobal perlu penyiapan yang matang. Adapun kebohongan akan menjadikan hidup semakin tertekan dan ketakutan karena kebrutalan yang telah dilakukan mengakibatkan kesengsaraan dan kerugian banyak orang, pola kinerjanya tidak transparan sehingga banyak peluang yang dikorup, kepentingan yang sesaat, instan dan berjangka pendek sehingga tidak mampu menghadapi persaingan global, karena berbagai kebohongan telah dilakukan dan  meski secanggih apapun dalam upaya menutupi kebohongannya akan terkuak juga.
Kita benar-benar prihatin ketika menyaksikan kebohongan telah mendominasi dalam kehidupan ini, bahkan disemua lini kehidupan mudah dijumpai tindak kebohongan, salah satu diantaranya telah menodai dunia pendidikan kita, akibat tersistematikanya penyontekan masal disaat ujian nasional, bahkan pelapor yang sangat gelisah akibat mendapat laporan dari putranya yang mengikuti ujian nasional SD melakukan tindak kejujuran, sehingga  sempat diteror oleh kebanyakan orang  disekitarnya, dan terbukti Ibu Siami menjadi pemberitaan nasional sebagai pejuang kejujuran dan putranya meraih nilai tertinggi di kelasnya.
Kejujuran atau kebohongan adalah pilihan, dan manusia meski diberikan kebebasan untuk memilih bukan berarti bebas tanpa kendali karena menyangkut harga diri dan nilai kemanusiaan, sehingga diturunkanlah wahyu untuk membimbing manusia dalam kebenaran, serta suritauladan Rasulullah Muhammad SAW sebagai panutan yang berhasil merefleksikan kejujuran (As-Siddiq) sebagai salah satu sifatnya dalam memberikan pencerahan masyarakat jahiliyah. Dan saat inipun kejahiliyaan itu berkibar kembali untuk merusak tatanan guna menjungkirbalikkan tata nilai dan kemanusiaan melalui tindakan ketidakjujuran yang terus dibanggakan. Apa jadinya kehidupan ini jika kebohongan dijadikan pijakan dan kebijakan, tentunya akan menghancurkan kehidupan itu sendiri, maka sungguh berbahagialah mereka yang konsisten memperjuangkan kejujuran sebagai pilihan hidupnya untuk meraih kebahagian, kemenangan dan kemuliaan. Singkirkan kebohongan karena berakibat menghancurkan kemuliaan, dan perjuangkan kejujuran itu adalah kemuliaan yang dapat meraih kemenangan.