Sabtu, 24 Maret 2012

HAJI UNTUK LEBIH PEDULI

Oleh : Drs. Andi Hariyadi M.Pd.I
Al Baqarah : 197
kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rts?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨9$# 3uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ
197.  (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
            Prosesi pelaksanaan ibadah haji membutuhkan kesempurnaan perbekalan baik yang berupa kecukupan materi, kekuatan fisik, dan kesempurnaan kesadaran diri serta keluasan ilmu khususnya tentang manasik haji, karena dengan biaya puluhan juta rupiah untuk mendapatkan kuota haji di Indonesia masih harus menunggu 6 hingga 7 tahun lamanya, sehingga perlu kesehatan fisik yang prima baik untuk menunggu waktu yang ditentukan maupun saat pelaksanaan yang membutuhlan ketahanan fisik yang prima, sehingga kesabaran ini semakin menyempurnakan kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang istiqomah disetiap medan perjuangan dakwah Islam, karena dengan mengetahui cara manasik haji kita akan semakin tercerahkan baik disaat melakukan ritual haji maupun pada ritual-ritual peribadatan lainnya.
            Perjuangan Nabi Ibrahim bersama Hajar sang istri tercinta dan Ismail as sebagai anak tersayangnya mampu melewati berbagai tantangan dengan sempurna meski penuh pengorbanan, berbagai rayuan syetan yang menyesatkan tetap mampu mempertahankan ketauhidan, ujian fisik yang melelahkan tidak menggoyahkan semangatnya untuk meraih kesempurnaan diri. Ujian hidup yang bertubi-tubi tidak merobohkan sendi ketauhidan justru semakin mengokohkan ketauhidan, inilah bentuk keyakinan yang sempurna yang mampu memberikan solusi bagi kehidupan meski banyak ujian dan tantangan, dan bahkan mampu berqurban dengan menyembelih seekor ternak qurban sebagai bukti sempurnanya kecintaan seorang hamba.
            Ritual ibadah haji adalah pelajaran yang sangat berharga baik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat serta peradaban manusia, karena betapa seringnya kita menyaksikan perilaku arogansi menguasai kehidupan ini sehingga nilai-nilai kemanusiaan dihinakan, diinjak-injak oleh nafsu keserakahan, kebodohan dan kesombongan, sehingga citra diri manusia tidak menjadi manusia sejati, tetapi menjadi citra kebinatangan yang tidak mengenal tata aturan. Sifat-sifat kebinatangan inilah yang menjadi biang keladi berbagai kerusakan hingga menyesatkan menuju kegelapan dan kehancuran kehidupan.
            Beberapa kegiatan ibadah haji yang mampu mencerahkan kehidupan kita diantaranya, yaitu : 1) Berihrom berupa pakaian putih wujud kesucihan dan kepasrahan hidup ini hanya kepada-Nya, 2) Wuquf di Arofah sebagai puncak Rukun merupakan ketundukan secara totalitas hanya kepada-Nya bukan pada lainnya, 3) Tawaf dengan mengelilingi ka’bah tujuh kali sebagai wujud istiqomah dalam mengarungi perputaran roda kehidupan, 4) Lempar Jumroh, sebagai bentuk ketegasan diri untuk melakukan perlawan dengan segala bentuk sifat syetan yang cenderung kufur, merusak, rendah dan hina serta penuh kemaksiatan, 5) Sa’I yaitu berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali merupakan upaya percepatan untuk meraih kesempurnaan diri meski dengan pengorban yang begitu besar tetap sabar dan optimis dalam mengarungi dinamika kehidupan, 6), Berqurban, sebagai wujud ketaatan untuk lebih mendekatkan diri kita kepada-Nya sekaligus menjadikan diri sebagai manusia sejati yang jauhdari sifat hina kebinatangan 7) Tahallul, yaitu mencukur / menggunting rambut setelah selesai, merupakan ketulusan/keikhlasan selama melakukan ritual manasik haji.
Ali Imran : 97
ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
97.  Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
            Haji yang sempurna akan menjadi haji Mabrur, karena mampu menyadarkan diri secara totalitas untuk berperilaku yang terbaik, menjadi tauladan utama, menjadi orang yang lebih peduli untuk aktif berbagi dengan penuh ketulusan, berhaji bukan untuk mengejar prestise sehingga mengangap diri lebih elite baik secara social maupun ritual tetapi mampu menjadi tauladan dan daya dorong dalam perbaikan social dan aktifitas ritual, konsistensi kesempurnaan diri inilah sehingga Allah SWT menerima persembahan atas berbagai amal kebajikan yang telah dilakukan. Selamat kepada saudara-saudaraku yang telah menyempurnakan Rukun Islamnya dengan berhaji, Ya Tuhanku!, inilah aku, hamba-Mu telah dating, segala panggilan-Mu telah aku sambut dengan segala kerendahan hati. Tidak ada sekutu bagi-Mu, segala puji dan nikmat Engkaulah  yang empurnya dan kekuasaanpun. Tak ada sekutu bagi-Mu.
Ibadah haji merupakan salah satu jenis ibadah yang dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim di seluruh dunia. Haji sendiri berasa dari kata hajj, yang artinya mengunjungi sesuatu. Menurut istilah diartikan sebagai: mengunjungi Bait Allah untuk menjalankan ibadah (iqamatan lin nusuk) pada waktu yang sudah ditentukan.
  
Bait Allah adalah salah satu nama Ka’bah yang terkenal, dan nusuk adalah bentuk jamak dari kata nasikah, yang artinya binatang yang dikurbankan.
Dari akar kata ini digubah menjadi mansik, yang juga berarti ibadah, dan bentuk jamaknya manasik, yang juga berarti ibadah, dan bentuk jamaknya manasik, yang khusus digunakan dalam arti syarat rukun ibadah haji.

Segala peraturan yang berhubungan dengan ibadah haji itu dalam kitab hadits diuraikan dalam bab manasik.
A. Rukun Haji
Yang dimaksud rukun haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji yang jika tidak dikerjakan hajinya tidak syah. Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :
1. Ihram,
Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umrah di Miqat Makani. Amalan Umrah yang pertama adalah Ihram. Ihram adalah niat memasuki manasik (upacara ibadah haji) haji dan umrah atau mengerjakan keduanya dengan menggunakan pakaian ihram, serta meninggalkan beberapa larangan yang biasanya dihalalkan.
a. Pakaian Ihram
Untuk pria
Bagi laki-laki terdiri atas 2 lembar kain yang tidak dijahit, yang satu lembar disarungkan untuk menutupi aurat antara pusat hingga lutut, yang satu lembar lagi diselendangkan untuk menutupi tubuh bagian atas. Kedua lembar kain disunatkan berwarna putih, dan tidak boleh berwarna merah atau kuning.
Untuk wanita
Mengenakan pakaian yang biasa, yakni pakaian yang menutupi aurat.
Tempat-tempat Ihram
·  Zul Hulaifah
·  Juhfah
·  Yalamlam
·  Qarnul Manjil
·  Zatu Irqin
·  Makkah

2. Wukuf
Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, zikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Setelah shalat subuh tanggal 9 Zulhijjah, jemaah haji berangkat dari Mina ke Arafah sambil menyerukan Talbiyah, dan singgah dahulu di Namirah.
Para jemaah sampai di Padang Arafah tepat pada waktu Zuhur dan ashar dengan jama’ taq’dim dan qasar dengan satu kali azan dan dua ikamah. Selesai shalat, imam kemudian menyampaikan khutbah dari atas mimbar.
Selama wukuf di Arafah, para jemaah haji menghabiskan/mengisi waktunya untuk memahasucikan Allah dengan meneriakan talbiyah, berzikir dan berdoa sebagai berikut:


Ya Tuhanku, inilah aku, hamba-Mu telah dating, segala panggilanMu telah aku sambut dengan segala kerendahan hati. Tidak ada sekutu bagi-Mu, segala puji dan nikmat Engkaulah yang empunya dan kekuasaanpun. Tak ada sekutu bagi-Mu.
3. Tawaf Ifadah
Tawaf Ifadah, Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah
4. Sa'i,
Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Tawaf Ifadah. Adapun praktik pelaksanaan ibadah sa’i adalah sebagai berikut:
·  Dilakukan sesudah tawaf
·  Berlari-lari kecil atau berjalan cepat dari bukit Safa menuju bukit Marwah
·  Dikerjakan sebanyak tujuh kali putaran: dari Safa ke Marwah satu putaran, dan dari Marwah Sa’I hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mengerjakan haji atau umrah saja.
5. Tahallul
Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan Sa'i. Setelah melontar Jumrah ‘Aqabah, jamaah kemudian bertahallul (keluar dari keadaan ihram), yakni dengan cara mencukur atau memotong rambut kepala paling sedikit tiga helai rambut. Laki-laki disunnahkan mencukur habis rambutnya, wanita mencukur ujung rambut sepanjang jari, dan untuk orang-orang yang berkepala botak dapat bertahallul secara simbolis saja. Setelah melaksanakan tahallul, perkara yang sebelumnya dilarang sekarang dihalalkan kembali, kecuali menggauli istri sebelum melakukan tawaf ifadah.
6. Tertib
Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal. 
B. Wajib Haji
Wajib Haji Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah;
1.      Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
2.      Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Zulhijah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina). Di Mudzalifah para jemaah haji menunaikan shalat magrib dijamak dengan shalat isya dengan satu kali azan dan dua iqamah. Kemudian, mereka bermalam lagi
3.      Melontar Jumrah Aqabah tanggal 10 Zulhijah yaitu dengan cara melontarkan tujuh butir kerikil berturut-turut dengan mengangkat tangan pada setiap melempar kerikil sambil berucap, “Allahu Akbar. Allahummaj ‘alhu hajjan mabruran wa zanban magfura(n)”. Setiap kerikil harus mengenai ke dalam jumrah jurang besar tempat jumrah.
4.      Mabit di Mina pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah). Hukumnya adalah sunnah.
5.      Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
6.      Tawaf Wada', Yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah.
7.      Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram
8.      Menyebut “haji Mabrur” memang mudah, tetapi untuk mencapainya sulit. Mungkin karena sulit meraihnya, balasan (pahala) bagi yang meraihnya juga sangat istimewa, yakni syurga. Sabda Rasulullah SAW; “Alhajjumabrur laisa lahu jazaa ilal jannah”. (Orang yang memperoleh haji Mabrur, tiada balasan baginya, kecuali syurga”). Lantas timbul pertanyaan,apakah ada jemaah haji yang tidak mendapat “haji mabrur”itu?. Jawabannya ada jemaah haji yang tidak mendapat “haji mabrur” itu? Jawabannya tentu mungkin saja. Sebab ciri orang yang mendapat “haji mabrur” menurut Rasulullah SAW, paling tidak ada empat.

Pertama, tutur katanya selalu baik, dan menyenangkan orang lain. Memiliki sifat terpuji seperti sabar,rendah hati (tawaddhu’) dan, pemaaf. Orang yang sudah menunaikan ibadah haji tidak akan mau bertutur kata yang tidak baik, atau menyakitkan hati orang. Ia selalu bersikap rendah hati, tidak sombong,
karena di Tanah Suci menurut pandangan Allah SWT semua manusia sama, meski mereka di Tanah Air seorang pejabat,penguasa atau orang kaya.

Kedua, seorang yang sudah sembahyang gelar haji akan lebih ta’at beribadah, dibanding sebelum berhaji. Di Tanah Suci ia telah dilatih untuk ta’at beribadah, termasuk shalat berjamaah.

Ketiga, seorang haji akan selalu menghindarkan diri dari berbohong dan selalu berlaku jujur dalam kesehariannya.

Keempat, sifat sosialnya meningkat, suka berinfak, dan suka menolong sesama. Apabila keempat sifat dan sikap itu sudah menyatu dalam kepribadian seorang “haji” maka berarti ia telah mendapat “Haji Mabrur”. Tetapi kalau jauh dari sifat dan sikap demikian besar kemungkinan ia tidak mendapat “Haji Mabrur”, tetapi mendapat “haji mardud”, yakni haji yang tidak diterima oleh Allah WTS. Jika kita mencermati para saudara-saudara kita yang telah menunaikan ibadah haji, secara jujur harus kita akui, bahwa mereka belum sepenuhnya mengaplikasikan nilai-nilai ibadah haji yang mereka lakukan di Tanah Suci. Masih ada “haji” yang suka menyakiti hati orang, masih ada haji yang sombong, yang bangga dengan predikat hajinya. Kita masih melihat “para haji” yang malas untuk pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Padahal selama di Mekkah dan Madinah mereka rajin ke Masjidil Haram, atau ke Masjid Nabawi. Kecuali itu, masih ada para “alumni Tanah Suci” yang tidak jujur dalam kesehariannya
Haji Mabrur adalah dambaan dan cita-cita setiap muslim yang melaksanakan haji. Setiap jamaah tentu mendambakan haji mabrur , karena balasan istimewa hidup di Syurga.
Persoalannya, apa hakikat haji mabrur dan apa indikator-indikatornya? Kata mabrur, seperti diterangkan Ibn Mandhur dalam Lisan al-Arab, mengandung dua makna. Pertama, mabrur berarti baik, suci, dan bersih. Jadi, haji mabrur adalah yang tak terdapat di dalamnya noda dan dosa -- untuk jual beli berarti tak mengandung dusta dan penipuan. Kedua, mabrur berarti maqbul, artinya mendapat ridla Allah SWT. Ketiga, Mabrur diambil dari kata al birru (kebaikan). Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman: “lantanalul birra hatta tunfiquu mimma tuhibbun. Kamu tidak akan mendapatkan kebajikan sehingga kamu menginfakkan sebagian apa yang kamu cintai”. QS.3:92. Ketika digandeng dengan kata haji maka ia menjadi sifat yang mengandung arti bahwa haji tersebut diikuti dengan kebajikan.

Tetapi pertanyaannya apa itu haji mabrur? Banyak orang menafsirkan bahwa haji mabrur adalah haji yang ditandai dengan kejadian-kejadian aneh dan luar biasa saat menjalani ibadah tersebut di tanah suci. Kejadian ini lalu direkam sebagai pengalaman ruhani, yang paling berkesan.

Bahkan kadang ketika ia sering menangis dan terharu dalam berbagai kesempatan itu juga dianggapnya sebagai tanda dari haji mabrur. Imam Al Ashfahani menyebutkan haji mabrur artinya haji yang diterima (maqbul) (lihat mufradat alfadzil Qur’an, h. 114).

Nah, yang paling bisa diterima adalah Mabrur adalah haji yang mengantarkan pelakunya menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Dalam hadits Rasulullah: “Al hajjul mabrrur laisa lahuu jazaa illal jannah.” HR Bukhari, nampak titik temu yang saling melengkapi, bahwa haji mabrur akan selalui ditandai dengan perubahan dalam diri pelakunya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Bila setelah berhaji seseorang selalu berbuat baik, sampai ia menghadap Allah swt, maka insyaAllah telah mendapatkan kemabruran yang berujung diridhoi Allah untuk masuk syurga.

Lalu, siapa-siapa saja yang berhasil meraih haji mabrur? Boleh jadi jumlah mereka tak terlalu banyak. Berikut kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya 'Ulum al-Din .
Diceritakan, ketika Ibnu Muwaffaq berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya, ia melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat. Seorang bertanya kepada temannya, ''Berapa jumlah jamaah haji tahun ini?'' ''Enam ratus ribu orang,'' jawabnya. ''Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul?'' tanyanya lagi. ''Enam orang saja,'' kata temannya, singkat. Mendengar jawaban ini, Ibnu Muwaffaq terjaga. Gemetaran ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah mereka yang maqbul.

Berikut ini merupakan syarat-syarat jika ingin menggapai kemabruran dan ber-haji.
Pertama, Ilmu. Tidak hanya dikarenakan biaya dan energi yang tidak sedikit, tetapi memang semua amalan harus dengan ilmu. Sehingga kita tidak bingung, tidak ikut-ikutan dsb. Maka belajarlah, setelah mengerti baru laksanakan amalan tersebut.
Kedua, niat yang ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin dipuji orang dan berbangga-bangga dengan gelar haji. Seorang yang tidak ikhlas, Allah swt akan menolak amal tersebut sekalipun di mata manusia ia nampak mulia. Kalau perlu hilangkan budaya penambahan titel haji dalam nama, kecuali pemilik dapat bertahan untuk tidak sombong dan merasa lebih dari yang lain atau perasaam-perasaan buruk lainnya. Hilangkan istilah haji politik, haji karbitan (dengan niat lain) atau haji bisnis.
Ketiga, bekalnya harus halal. Haji yang dibekali dengan harta haram pasti Allah swt tolak. Rasulullah saw bersabda: “Sesunguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Di akhir hadits ini Rasulullah menggambarkan seorang musafir sedang berdo’a tetapi pakaiannya dan makanannya haram, maka Allah tidak akan menerima doa tersebut.” HR. Muslim. Demikian juga ibadah haji yang dibekali dengan harta haram.
Keempat, istiqamah. Istiqamah artinya komitmen yang total untuk mentaati Allah swt dan tunduk kepada-Nya, bukan saja selama haji, melainkan kapan saja dan di mana saja ia berada. Haji tidak akan bermakna jika sekembalinya dari tanah suci, seorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah swt. Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram dan kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari. Bila ini yang terjadi, bisa dipastikan bahwa hajinya tidak mabrur. Karena haji mabrur akan selalu diikuti dengan kebajikan. Perilakunya jelas tidak berwarna-warni seperti bunglon. Apa yang Allah swt haramkan senantiasa ia hindari, dan apa yang diwajibkan selalu ia tegakkan secara sempurna
Meski orang yang meraih haji mabrur tak dapat diidentifikasi secara pasti, namun Rasulullah SAW pernah menunjukkan beberapa indikatornya. Ketika ditanya tentang kebaikan haji, beliau bersabda: Memberi makan dan bertutur kata yang baik.
Memberi makan di sini harus dipahami secara luas, yaitu kesediaan kita untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan kita untuk menyumbangkan sebagian harta yang kita miliki untuk fakir miskin dan kaum dhu'afa. Sedang yang dimaksud bertutur kata yang baik, menurut Imam Ghazali, adalah berbudi luhur dan berakhlak mulia. Setiap pelaku haji, demikian Ghazali, harus memperhatikan betul soal akhlak ini, baik sewaktu berada di Tanah Suci maupun setelah kembali ke kampung halamannya. Inilah makna yang dapat dipahami dari ayat 197 surah al-Baqarah.
Kedua indikator yang disebut Nabi SAW di atas, berdimensi sosial. Ini berarti, haji yang mabrur pada hakikatnya adalah haji yang dapat membuat pelakunya semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan. Ia dan masyarakat memperoleh kebaikan dari ibadah haji yang dilakukannya. Karena itu, surga Allah memang pantas dan layak baginya
Terakhir, seseorang yang naik haji akan di sebut haji mabrur setelah ia nampak bahwa hidupnya lebih istiqamah dan kebajikannya selalu bertambah sampai ia menghadap Allah SWT.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar