Kamis, 29 September 2011

Taqwa dan Produktivitas Kerja

TAQWA DAN PRODUKTIVITAS KERJA
Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
At Taubah : 105
È@è%ur (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcrŠuŽäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
105.  Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.
Prestasi ibadah selama bulan suci Romadhan diharapkan untuk mencapai nilai taqwa, sebagai bekal dalam mengisi kehidupan dengan keunggulan dan prestasi yang membanggakan, sebab tantangan dalam mengarungi kehidupan sangatlah kompleks, sehingga membutuhkan kesungguhan, tidak mudah berputus asa, segala permasalahan disikapi dengan cerdas dan bermartabat tanpa harus menanggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang penuh kemuliaan. Dan Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara.  Sebagaimana Al Quran  Surat At Tahrim ayat 6 yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, hendaklah kamu memelihara kamu dan kelurgamu dari api neraka”. Komitmen orang bertaqwa senantiasa memelihara prestasi ibadah dan amal solehnya untuk terus meningkatkan produktivitas kerja sebagai bentuk jihad guna meraih kemuliaan hidup.
Prof..Dr.Thohir Luth, menyatakan:” Terminologi amal soleh sering tidak diterjemahkan dengan jelas, bahkan dibiarkan begitu saja, sehingga terbatas pada masalah ritual saja, seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Kalau amal soleh berarti”pekerjaan yang baik”, maka pengertiannya amat luas, sehingga semua perbuatan atau pekerjaan apa saja yang baik menurut agama adalah amal soleh”.
            Bekerja dalam prespektif agama Islam, bernilai ibadah sekaligus penuh kemuliaan,sebagai bentuk karya amal solehnya,  karena para pekerja itu telah melakukan aktivitas yang terbaiknya untuk kesuksesan dan kebahagian hidup baik di dunia ini maupun diakhirat nanti, sehingga ragam pekerjaan apapun yang dilakukan secara maksimal asal ada kesesuaian dan kebenaran menurut kacamata agama Islam, maka pekerjaan itu akan mampu mengantarkan pada kesuksesan. Islam sangat menghargai atas mereka yang mampu bekerja secara maksimal dalam rangka suksesnya percepatan perubahan, ketika berbagai bentuk kemiskinan menjerat dia mampu melepaskannya dengan kerja terbaiknya sehingga nasibnya harus dirubah (QS:13:11) agar tidak menjadi peminta-minta (QS:2:273). Meski adanya keterbatasan lapangan pekerjaan, tetapi tetap memiliki motivasi tinggi untuk terus bekerja sesuai dengan kemampuannya (QS:39:39), dan jika terus digeluti akan menjadi ahli dalam bidang yang sesuai dengan kemampuannya, dan itu merupakan balasan atas prestasi kerjanya(QS:3:136).
                Jika hidup tanpa kerja maka akan susah dan menderita, sehingga ketika ada kemampuan dan kesempatan untuk bekerja akan dilakukan secara baik dan tidak akan dirusaknya karena berarti menggali lubang untuk kuburnya sendiri. Maka orang bertaqwa ketika bekerja terus terobsesi dengan kesuksesan dan kemenangan (QS:24:52). Kesejahteraan yang didapat adalah sesuai dengan kondisi kerja yang dilakukan, maka bagaimana kondisi kerja kita saat ini akan dapat menggambarkan kehidupan kita ke depan. Produktivitas kerja kita sejatinya didorong oleh kebermaknaan iman dan taqwa yang selama ini selalu kita tanamkan secara kuat dan dikembangkan untuk kebaikan kehidupan, sehingga apa yang dilakukan selalu yang terbaik dan bukan kesia-siaan, apalagi kemalasan dan pengrusakan, karena memang kerja bagi orang yang bertaqwa sebagai media untuk kesempurnaan ibadah, sekaligus untuk mengaktualisasikan nilai-nilai iman dan taqwa dalam budaya kerja.
            Upaya mendorong produktivitas kerja bagi orang bertaqwa sebagaimana tercermin dalam Al Qur’an Surat 28 ayat 77, diantaranya : 1) Bekerja dengan ihsan, artinya sebaik mungkin  dan optimal; 2) Bekerja secara terampil dan penuh keahlihan karena memang professional dalam bidangnya;3) Bekerja sesuai prosedur untuk mencapai tujuan yang diharapkan; 4) Bekerja dengan team work yang bagus dan kondusif serta selalu mengembangkan jaringan yang lebih luas. Produktivitas kerja bagi orang bertaqwa adalah bagian dari ibadah, maka bekerja yang terbaik merupakan prinsip hidupnya serta jauh dari sifat-sifat tercela. Semoga kita bisa bekerja dengan penuh amanah untuk meraih bahagia yang sempurna, sebagai amal soleh dengan prestasi mulia. Mari bekerja dengan yang terbaik sebagai kesadaran dan itulah kemuliaan.

Sabtu, 17 September 2011

KEBERMAKNAAN IMAN PADA KERUKUNAN

Pendahuluan
            Salah satu komitmen kita sebagai warga Negara Indonesia adalah menghargai dan menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, yang sudah berakar dan menyejarah dalam kehidupan bangsa. Kesadaran  atas kebhinekaan inilah yang membuat kehidupan bangsa bisa bersatu meski ada banyak keragamaan suku, bangsa, bahasa, dan agama tidak menghalangi untuk mewujudkan persatuan sebagai suatu keharusan.
            Para pendiri bangsa sudah memberikan keteladanan untuk menjaga persaudaraan, persatuan dan kerukunan hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai perekat dari berbagai keragaman yang ada, sehingga kita sebagai generasi penerus kehidupan bangsa merasa terpanggil untuk menjaga, dan melindungi falsafah Negara dari berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merusak persatuan.
            Persatuan bangsa adalah salah satu pilar utama  dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, lebih-lebih pada akhir-akhir ini kondisi bangsa yang semakin terpuruk, kesejahteraan yang diharapkan masih jauh dari harapan, kerukunan sebagai penyokong persatuan berubah menjadi kekerasan social, sehingga kehidupan yang kondusif menjadi distruktif. Tidak ada suatu bangsa yang mencapai kebesaran, kecuali jika bangsa itu meyakini suatu hal, dan kecuali jika sesuatu yang diyakini itu mempunyai dimensi-dimensi moral untuk menopang peradaban besar[1]. Bangsa besar ini harus ditopang oleh orang-orang yang berpikiran besar untuk kemajuan dan perubahan, sehingga bangsa Indonesia benar-benar diperhitungkan, bukan sebaliknya dijadikan kelinci percobaan kebijakan global.
Kebermaknaan Iman
            Suasana relegius dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia merupakan prestasi yang membanggakan, dimana tumbuhnya rumah-rumah ibadah sebagai kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh untuk melakukan ritual keagamaan secara khusuk, sebagai wujud kesadaran keilahiaan. Ibnu Tufail menyatakan dalam novelnya, Hayy ibn Zagzhan, mengajarkan kepada kita bahwa kesadaran keilahian telah terbentuk dan inheren di dalam diri manusia.[2] Sehingga tidaklah mungkin manusia mengingkari akan kesadaran keilahiannya, namun masih banyak diantara manusia yang masih saja mengingkarinya, sehingga kesadaran keilahian dikotori dan dirusak oleh nafsu kerendahan dan keserakahan.
            Berbahagialah mereka yang komitmen dengan keimanannya, dan dengan keimanannya itu terus dilakukan kebermaknaan yang signifikan, meski banyak godaan dan gangguan konsistensinya atas keimanannya itu tidak membuat mundur sedikitpun, mereka benar-benar merasakan kelezatan dan manisnya iman. Al Qur’an surat An-Nahl : 97
  Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. Selanjutnya Rasulullah Muhammad SAW bersabda, Dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda, "Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang maka ia akan menemukan manisnya iman yaitu mencintai  Alloh dan Rosul-Nya melebihi cintanya kepada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Alloh, dan ia benci untuk kembali ke dalam kekufuran (setelah Alloh menyelamatkannya) sebagaimana ia benci untuk dicampakkan [dalam riwayat lain dilemparkan] ke dalam api neraka." [HR.Bukhari]
            Keimanan memiliki dimensi vertikal, ketika kita mampu mendekatkan diri secara maksimal dalam membentuk kesadaran keilahian sehingga dalam peribadatan itu kita benar-benar sadar akan kemahakuasaan-Nya, sekaligus berdimensi sosial, ketika kita mampu merefleksikan keimanan itu dalam ruang dan dinamika kehidupan di masyarakat, disitu adanya kepedulian, kebersamaan, keharmonisan, persaudaraan dan kerukunan. Kebermaknaan keimanan baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal sesunguhnya tidak dapat dipisahkan, karena jika dipisahkan akan tidak sempurna lagi.
            Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (LDKG-PGI, Keputusan Sidang Raya XII PGI Jaya Pura 21-30 Oktober 1994 point B tentang : Hubungan dan Kerjasama dengan Golongan Beragama dan Berkepercayaan Pada Tuhan Yang Maha Esa, nomor 83) Dalam usaha gereja mewujudkan tugas panggilannya  untuk memberi kesaksian di tengah masyarakat majemuk, maka gereja gereja dalam keterbukaannya hendaklah mengadakan serta membina hubungan dan kerjasama dengan semua golongan , termasuk dengan golongan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1 Kor 9 :19-23 ; Kol 3 :11)[3], sehingga jelas iman kristen selalu mendorong adanya kebersamaan dengan semua golongan sebagai wujud panggilan untuk kemanusiaan dari dorongan keimanan yang penuh makna.
Kerukunan Sebuah Keharusan
            Menilik hasil penelitian Harian Kompas (16 Agustus 199) terhadap 1.540 pemilik telpon di Jakarta, Yogjakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Aceh, Pontianak, Ujung Pandang, dan Manado atas pertanyaan :   Dari berbagai permasalahan bangsa, persoalan apakah yang anda khawatirkan terjadi sebagai penyebab perpecahan bangsa ?, dan di jawab sebagaimana tabel berikut :
No
Penyebab Perpecahan Bangsa
Prosentase
1
Pertikaian antar agama
40,1 %
2
Pertikaian antar suku bangsa
27 %
3
Pertikaian antar pendukung Partai
8,8 %
4
Pertikaian antar golongan kaya – miskin
7,7 %
5
Pertikaian antar daerah
5,9 %
6
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan
3,0 %
7
Tidak tahu atau tidak menjawab
6,9 %
           
            Kekhawatiran sebagian masyarakat atas kondisi rusaknya kerukunan dan ketahanan nasional patut kita apresiasi dalam arti bagaimana tetap menjadikan kerukunan sebagai suatu keharusan, lebih-lebih melihat permasalahan agama memberikan kontribusi sebesar 40,1 %, sehingga kita sebagai hamba yang beriman memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan kontribusi mewujudkan kerukunan. Keimanan merupakan energi kehidupan yang mencerahkan ketika keserakahan dan kebodohan menjadi komandan inspirasi kebijakan, keimanan adalah lentera penyelamatan ketika kehidupan dirundung kegelapan yang menghinakan.
            Keimanan yang sempurna mampu bersinergi dengan berbagai keragaman untuk mewujudkan kerukunan, karena kerukunan merupakan konsekwensi logis dari buah keimanan, sehingga tidaklah mungkin keimanan berbuah kekerasan, pemaksaan kehendak hingga menebar teror yang menakutkan. Maraknya berbagai bentuk aksi anarkhis yang akhir-akhir ini sering terjadi dan selalu dikait-kaitkan dengan ajaran agama sesungguhnya bertolak belakang dengan nilai-nilai ajaran agama yang universal seperti kemuliaaan, kedamaian, kerukunan, persaudaraan yang penuh keindahan. Kemunculan berbagai aksi anarkhis tersebut memanfaatkan sintemen keagamaan utuk menguatkan keyakinan para pelaku tetapi sesungguhnya itu merupakan bentuk pelecehan atas ajaran agama.











[1] Majid, Nurcholish, Islam, Kemodernan dan keindonesiaan,PT Mizan Pustaka, Bandung,2008,188
[2]  Gusmian,Ishlah, Setiap Saat Bersama Allah, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2006, 70
[3] PGI, Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1994

KONFLIK DAN KEDEWASAAN

            Kondisi perpolitikan yang berkecenderungan kurang stabil ditambah semakin melemahnya kepercayaan masyarakat pada Pemerintah baik ditingkat lokal hingga nasional hanya karena alasan yang klasik tetapi sensitive, yaitu kompetensi dan transparansi. Sistem penyelenggaran negara sudah tertata, baik secara kelembagaan hingga regulasi yang telah dikeluarkan namun para penyelenggaranya terjebak oleh berbagai kepentingan sesaat dan menggiurkan sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan secara professional dan procedural serta rasional, bahkan semakin cenderung melakukan “mal praktek” dalam setiap kebijakannya. Problem korupsi dan ketidakadilan yang semakin merebak akhir-akhir ini merupakan produk dari tidak berkompeten dan tarnsparansinya mereka yang telah diberi amanah, hanya berorientasi  untuk kepentingan pribadi dan kroninya, hal ini sangat menodai cita-cita para pendiri bangsa, dimana kesejahteraan masih jauh dari harapan, keamanan dan kedamaian sering terkoyakkan oleh berbagai konflik yang seharusnya bisa kita hindari.
Kesejahteraan Masih Wacana
            Krisis kepercayaan masyarakat pada Pemerintah sepatutnya disikapi secara cerdas dengan langkah-langkah strategis, bukan sekedar wacana yang bombatis, ataupun disikapi secara represif, hal ini semakin memperpuruk permasalahan yang ada. Saatnya keberpihakan pada masyarakat diwujudkan dengan penuh ketulusan, kesejahteraan tidak hanya pada para elite saja karena akan memicu kecemburuan social, sehingga memacu terjadinya konflik. Program kesejahteraan social janganlah dipermainkan hanya untuk sekedar tebar pesona saja, karena akan semakin jauh dari harapan, tetapi kesejahteraan social harus diprioritaskan dengan program yang tepat dan akurat, agar kemiskinan tidak menjadi dosa turunan, bahwa mitos orang miskin dilarang kaya, dan orang kaya harus kaya terus, merupakan indikasi ketidak adilan, dan tidak dewasanya dalam menentukan kebijakan, sepertinya negara dan bangsa ini adalah milik trah dan kroninya saja, dan yang selainnya tidak layak mendapatkan kue kesejahteraan itu.
Upaya mewujudkan kesejahteraan cenderung sebatas wacana, padahal kemiskinan membutuhkan kepedulian nyata, membuka kesempatan kerja baru dan berprospek agar para pengangguran bisa lebih produktif dalam kerjanya. Gagalnya mewujudkan kesejahteraan social merupakan problem yang sangat serius dan berimplikasi yang sangat luas disemua lini kehidupan, dan apa yang bisa dibanggakan jika kesejahteraan gagal diwujudkan, padahal potensi kekayaan bangsa yang luar biasa besarnya seharusnya mampu mensejahterakan. Potret kemiskinan begitu kuat nampak dihadapan kita, meski beratnya beban yang ada tidak menghalangi optimismenya untuk mempertahankan kehidupannya. Panas terik dan hujan yang merendam tidak menyurutkan perjuangannya, siang dan malam terus membanting tulang demi mewujudkan harapan. Masih adanya kantong-kantong kemiskinan yang mewarnai kerasnya kehidupan, dan tidak tersentuh oleh layanan social yang seharusnya layak diberikan padanya. Mereka terpinggirkan oleh kebijakan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, entah sampai kapan kemiskinan ini menyandranya.
Sungguh ironis ketika kemiskinan terlantarkan, sedang dipihak lain justru berpesta berhamburan harta, dan lebih menyakitkan sekali ketika berbagai aksi korupsi terbongkar dan tidak ada ketegasan dalam keadilan, bahkan cenderung dilindungi karena menyangkut kepentingannya, sehingga diupayakan berbagai rekayasa untuk kasus yang ada. Untuk urusan rekayasa seperti ini begitu canggihnya, dengan harapan lepas dari jeratan hukum, dan akan terus menari diatas kepedihan rakyat yang semakin sekarat dengan kemiskinan.
Konflik dan Kemiskinan
            Terjadinya konflik seringkali bukan karena berdiri sendiri sehingga begitu saja terjadi tanpa ada hubungan yang menyertai, sebab konflik social justru terjadi karena adanya fakta social yang berupa kesenjangan social dalam bentuk kesenjangan kesejahteraan. Adanya sebagian masyarakat yang harus bersusah payah mengais rejeki demi sesuap nasi, sedang disisi lain adanya sebagian masyarakat yang begitu mudahnya menumpuk kekayaan materi padahal berbagai fasilitas sudah didapatkan namun masih merasa kurang sehingga melakukan penggelapan dan pembengkakan anggaran hingga trilyunan rupiah, gerakannya terorganisir secara rapih dan akan bungkam seribu bahasa ataupun menyatakan tidak tahu menahu akan masalah yang ada manakala ada yang membocorkan akan aksi kejahatannya.
            Konflik dan kemiskinan merupakan dua sisi yang selalu beriringan dan korbannya adalah masyarakat luas, dan dua hal tersebut selalu dijadikan bagian dari upaya pengrusakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya kemasannya bisa berupa paham keagamaan, persaudaraan kesukuan, dan lain sebagainya. Perbedaan paham keagamaan menjadi media yang sangat sensitive untuk memicu terjadinya konflik dalam skala yang lebih besar, lebih-lebih didalamnya ada problem kesenjangan kesejahteraan sehingga semakin menyempurnakan terjadi konflik social. Klaim pembenaran akan aksi suci meski dengan melakukan pengrusakan, kekerasan hingga pembunuhan terus dikobarkan sebagai bentuk solidaritas. Persaudaraan dan keragaman  yang selama ini sudah terbangun dalam bingkai NKRI mulai rapuh, rasa dendam telah menhunjam dalam hati untuk terus melakukan permusuhan, dan hal itu bukanlah solusi yang tepat, justru membuat keterpurukan bangsa dan mudah dipecah belah oleh bangsa yang telah berjaya.
            Akar terjadinya konflik bisa berasal dari kondisi structural dan kultural, serta multidimensi, dimana mereka yang telah dan sedang memiliki jabatan strategis berupaya mempertahankan kondisinya, dan diciptakanlah kultur agar bisa terjadi konflik sesuai jadwal yang diinginkan, jika ada sinyalemen yang mencoba mendongkraknya, maka dibuatkanlah konflik sebagai bentuk pengalihan perhatian. Sehingga kemiskinan bagi yang tidak memiliki kesadaran akan dipertahankan dan suatu saat bisa menjadi mesiu untuk terjadinya konflik. Kita benar-benar prihatin betapa mudahnya dari sebagian masyarakat ini mudah terjadi konflik, sehingga perlu kesadaran yang tinggi untuk bisa memahami keragaman yang ada agar tidak berbuah konflik.
Kedewasaan dalam Bersikap
            Meletusnya konflik diantaranya adanya ketidaksepahaman atas kondisi dan kebijakan yang ada, merebaknya informasi yang cenderung provokatif serta tidak adanya perhatian atas aspirasi yang ada dan menemukan momentum sehingga membentuk group atau suatu komunitas sebagai respon atas tidak dipenuhinya tuntutan yang selama ini menjadi kebutuhan dasarnya. Perilaku represif dan destruktif telah menjadi bagian dari konflik, sehingga banyak korban di dalamnya dan terus berlanjut menjadi dendam yang tak terkendalikan untuk memenuhi amarahnya. Terjadinya konflik bukannya diselesaikan dengan konflik lainnya, tetapi seharusnya dari konflik yang ada tersebut bisa menyadarkan kita baik sebagai diri, anggota/bagian masyarakat atau para elite yang ada, untuk mampu mengoreksi atas kondisi yang ada. Kemauan untuk introspeksi seharusnya menjadi bagian dari kehidupan kita, apapun profesi dan jabatan tidak menghalangi untuk selalu mengoreksi diri agar lebih baik, dan itulah bagian dari kedewasaan.
            Kedewasaan dalam mengantisipasi sekaligus dalam memberikan solusi atas terjadinya konflik harus terus dikembangkan, sehingga mampu meredam dan menghindar bahayanya konflik. Kedewasaan dalam bersikap sangatlah dibutuhkan, ketika bangsa ini semakin rapuh persatuannya, berbagai bentuk egoisme yang cenderung menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya dengan mengorbankan kelompok lain, seharus segera diakhiri, merasa diri yang terbaik dan terbenar dengan menyalahkan dan merendahkan yang lain akan semakin memperuncing permasalahan. Bagaimana kondisi hati dan pikiran ketika dihadapkan fakta yang sangat tidak diinginkan akan mempengaruhi respon atas fakta tersebut, sehingga ketika kondisi diri dalam posisi tertekan, terhina, dan terpinggirkan akan mudah menyulut terjadinya anarkis.
Manusia sebagai makhluk yang berkehormatan dan dilebihkan kedudukannya dengan makhluk yang lain, sehingga diberikan kesanggupan mengemban amanah  untuk kebaikan dan kebahagian kehidupannya, jika hal ini disadari maka segala bentuk penenindasan, kekerasan dan keserakahan tidak akan tertampilkan. Ada dua kekuatan dalam diri manusia yang saling berhadapan untuk berusaha memenangkan dan mengalahkan yang lain, yaitu hati nurani dan hawa nafsu, dimana hati nurani selalu berkecenderungan pada kebaikan dan kebenaran sehingga meraih kemuliaan karena menghargai nilai kemanusiaan, sedang hawa nafsu berkecenderungan pada keburukan dan kesalahan sehingga kehinaan yang didapatkan karena telah melakukan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka perlu adanya kesadaran diri yang tidak mudah emosi untuk berpikir secara cerdas, bertindak secara tepat dan berucap secara bijak, bukannya memanipulasi data dan informasi sehingga terjadi kebohongan publik, dimana yang salah dibenarkan bahkan dilindungi, sedang yang benar disalahkan dan diintimidasi, sehingga semakin menyuburkan suasana konflik yang terus membawa dendam. Dalam salah satu bait puisi Muhammad Iqbal “ Harapan Kepada Pemuda” dinyatakan :

Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu
Hembuslah panas nafasmu di atas kebun ini
Agar harum-harum narwastu meliputi segala
Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak
hanya berbunyi ketika terhempas di pantai
Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu
            Carut marutnya kehidupan ini tidak menyurutkan kita untuk memiliki harapan yang lebih baik, dan itu merupakan bagian dari kesadaran diri atas kedewasaan kita, sehingga ketika diberi amanah atas apapun profesi kita bisa dilakukan dengan penuh kebaikan, ketulusan dan kejujuran dan tidak akan melakukan penyelewengan, kebohongan dan pengrusakan sebagai upaya merubah tata kehidupan yang lebih baik dimana terwujud kesejahteraan, tercipta kedamaian dan keamanan dengan merajut persaudaraan dan kerukunan. Kedewasaan diri untuk komitmen atas amanah yang diberikan, merupakan energi besar untuk perubahan, sehingga berbagai konflik social yang semakin merebak bisa diselesaikan secara arif. Maka tugas kita semua untuk terus menumbuhkan kedewasaan, agar pola pikir  yang sempit dan cenderung represif bisa tercerahkan untuk menguatkan persaudaraan, gaya kebijakan yang sekedar tebar pesona bisa berubah menjadi aksi nyata menegakkan keadilan, kesejahteraan dan kerukunan, sehingga berbagai kesenjangan yang bisa memicu terjadinya konflik bisa didekatkan untuk bisa saling berbagi dalam tali persaudaraan yang penuh keragaman, dan itulah wujud kedewasaan diri. Jadikanlah diri ini menjadi pelopor dalam mencegah terjadinya konflik, agar persaudaraan terwujudkan.