Sabtu, 31 Maret 2012

Wawasan Kebangsaan

NILAI KEMERDEKAAN
Oleh : Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Sudah menjadi tradisi bagi seluruh anak negeri, pada bulan Agustus seperti ini tergelar berbagai lomba, terpasang aneka asesoris dengan dominasi warna merah dan putih menghiasi di berbagaai sudut kota dan desa. Wajah ceria dan bangga menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke 65, seakan akan tanpa beban, berbagai perayaan dan pesta kemerdekaan dimeriahkan, semua tumpah ruah penuh kegembiraan menyambut detik-detik peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, sejatinya diraih dengan penuh pengorbanan dalam waktu yang sangat panjang serta bukan hadiah yang diterima secara cuma-cuma dari para penjajah, dari semangat pengorbanan para pahlawan itulah sehingga membentuk karakter diri sebagai bangsa  pejuang, tidak mengenal putus asa meski terus disiksa, tidak mengenal kata mundur dari perjuangan meski digempur dari segala penjuru negeri dengan senjata militer yang mematikan, tidak mengenal kata menyerah meski kesejahteraan rakyat diperparah, yang ada adalah pantang putus asa, pantang mundur dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan untuk meraih kemerdekaan, kedaulatan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Para pahlawan sangat sadar dan paham betul betapa perih dan sedihnya penjajahan itu, karena kedaulatan dan kehormatan bangsa diinjak-injak, segala potensi kekayaan negeri terus dicuri, upaya perjuangan segera dilenyapkan, sehingga kemiskinan dan kebodohan serta ketidakadilan adalah pemandangan keseharian yang sulit dilupakan. Kondisi busung lapar dan kekurangan gizi ditengah melimpahnya aneka produk makanan tetapi hanya untuk penguasa. Anak negeri dipekerjakan secara paksa tanpa imbalan yang selayaknya, air mata meleleh dan darahpun tumpah hanya dipandang sebelah mata saja
Perjuangan para pahlawan yang begitu maksimal, ikhlas dan penuh pengorbanan merupakan keteladanan yang luar biasa untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, jika kita tidak bisa mengisi kemerdekaan untuk kemajuan dan kesejahteraan betapa ironisnya negeri ini. Toto Tasmara dalam karyanya “Spiritual Centered Leadership”, Ketika masih dalam suasana penjajahan Belanda, Soekarno memiliki daya imaginasi yang kuat. Dia mampu membaca nilai-nilai bangsa, kegetiran dan persoalan yang dialami bangsa Indonesia, sehingga lahirlah sebuah visi yang dirangkum dalam dua kata “ Indonesia Merdeka”. Cara pandang inilah sehingga menjadi daya dorong untuk menggerakkan sebuah misi suci, misi kemanusian, dan misi penyelamatan untuk terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia, dalam perkembangannya, menurut Nurcholis Madjid dalam “ Indonesia Kita”, dinyatakan; Semakin sedikit orang yang dengan sungguh-sungguh berpikir dan bertindak untuk kepentingan seluruh bangsa, menurut Bung Hatta, barangkali sekarang ini pun Indonesia adalah sebuah Negara besar, yang hanya menemukan orang-orang kerdil. Pernyataan ini patut kita telaah kembali lebih-lebih ketika kita sedang merayakan kemerdekaan Republik Indonesia ini, karena akan mampu menyadarkan kita bahwa betapa seringnya upaya-upaya menodai kemerdekaan ini akibat sempitnya wawasan kebangsaan dan kerdilnya kemampuan dalam memanage wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kandungan kekayaan yang luar biasa besarnya ternyata belum mampu memberikan rasa keadilan dan wujud kesejahteraan yang selama ini di idam-idamkan.
Upaya merayakan kemerdekaan yang setiap tahun kita semarakkan dengan anggaran yang sangat besar ternyata masih perlu penataan yang lebih komprehensif lebih-lebih dihadapkan pada persaingan global, semisal penerapan perdagangan bebas ASEAN-CINA (ASEAN-Cina Free Trade /ACFTA) yang sudah berjalan enam bulan ini menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari hingga Mei 2010, defisit  perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai 2,11 Milyar dolar AS, factor penyebabnya karena konsumen Indonesia menyukai barang-barang elektronik impor terutama dari Cina. Masyarakat kita seakan ketergantungan dengan produk-produk tersebut, dan ironisnya telah menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Kenyataan seperti ini sejatinya telah menghilangkan citra diri sebagai bangsa yang besar sekaligus bangsa yang tangguh dalam perjuangan, dimana upaya pembiaran untuk tetap menjadi posisi konsumtif tanpa ada upaya untuk bangkit menjadi produktif dengan karya-karya yang monumental sehingga patut disayangkan, karena sejatinya nafas kemerdekaan adalah perubahan untuk menuju yang lebih baik.
Sepertinya kita telah terhipnotis untuk bangga menjadi penonton, bangga menjadi konsumen tanpa harus bersusah payah melakukan produktifitas, dan apa jadinya jika anak-anak kita yang terlahir dari rahim pejuang tetapi enggan melakukan perjuangan, enggan melakukan perubahan yang besar untuk kemajuan dan kesejahteraan, bisanya hanya mengandalkan kroni dan kolusi, kemampuannya sebatas jago kandang, tragisnya masih saja melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri tanpa peduli dengan jeritan nasib rakyat, sehingga yang ada adalah merdeka baginya dan tidak untuk lainnya karena terjebak oleh kebijakan yang diskriminatif.
Momentum kemerdekaan ini seharusnya mampu mengantarkan pada diri ini untuk mengevaluasi atas beberapa kinerja dan kebijakan yang telah dilakukan, apakah sudah sejalan dengan nilai kemerdekaan ataukah justru menjajah kedaulatan baik dalam kewilayahan geografi dan pemerintahan, poltik dan ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta kebudayaan. Merdeka adalah kita berdaulat sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar