Sabtu, 12 November 2011

Ibadah Haji dan Persaudaraan Sejati

IBADAH HAJI DAN PERSAUDARAAN SEJATI
Monday, 07 November 2011 23:03 Media Online Bhirawa
Oleh :
Drs. Andi Hariyadi, M.Pd.I
Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya

Ka'bah di Makkah telah menjadi saksi peradaban manusia, lebih-lebih pada bulan Dzulhijjah saat ini, berbondong-bondonglah umat muslim dari seluruh penjuru dunia untuk melakukan ritual ibadah haji, dimana pengorbanan dan perjuangan maksimal telah dilakukan Nabi Ibrahim as beserta Istrinya Hajar dan putranya Ismail as untuk memenuhi perintah-Nya sebagai bukti ketaatan yang paripurna, sehingga mampu mengalahkan berbagai bentuk sifat kerendahan dari rayuan syetan yang senantiasa menyesatkan dan menjauhi rahmat dan hidayah-Nya. Tua dan muda bergerak dengan segala kemampuannya menuju titik kesadaran meninggalkan kehinaan, menghancurkan keserakahan dan meluluhlantakan kesombongan hingga mendapatkan kemuliaan hidup. Kesadaran sebagai manusia pilihan yang mampu menjadi teladan bagi kehidupan, lebih-lebih melihat carut marutnya kehidupan yang jauh dari spirit ke-Ilahian.

Spirit Perjuangan
Peran dan kehadiran manusia sesungguhnya penuh dengan perjuangan, karena dari perjuangan itulah akan nampak siapa yang sukses meraih kemenangan dan siapa yang lari dari perjuangan sebagai pecundang yang memalukan. Nabi Ibrahim as merupakan tokoh spiritual sekaligus tokoh pergerakan yang mengukir prestasi gemilang karena mampu menghadapi berbagai permasalahan kehidupan dengan sempurna yang tak mau dicampurkan dengan sifat kerendahan dan kemusyrikan yang berakibat melemahkan dan menyesatkan. Ibadah haji dengan berbagai ritualnya sesungguhnya mampu menyadarkan diri untuk kembali pada kemuliaan hidup, karena ada banyak aktivitas kehidupan yang justru jauh dari kebermaknaan karena cengkraman syetan yang selalu menebar permusuhan, dendam dan penghancuran.
Ibrahim as dalam masa perjuangannya banyak bersentuhan dengan praktek keyakinan yang arogan yang dipelopori raja Namrud, hingga Nabi Ibrahim dibakar namun tetap terselamatkan dan arogansi penguasa masih tidak tergoyahkan. Namrud adalah penguasa yang gelisah melihat gelagat Ibrahim yang berusaha merusak kewibawannya, sehingga harus disingkirkan, dan Ibrahimpun melakukan perjalanan jauh hingga ke Makkah bersama istrinya Hajar dan putranya Islamil, yang selanjutnya ditinggalkan ditanah yang kering, tandus bebatuan yang keras untuk melanjutkan perjalanan perjuangan dan beberapa tahun kemudian kembali menemuai istri dan anaknya tercinta hanya untuk membunuh (menyembelih) putra terkasihnya, dengan rasa yang  berat dan ketaatan harus dibuktikan hingga diganti dengan domba untuk disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat disekitarnya. Ketaatan kepada-Nya jangan sampai dikalah oleh lainnya termasuk dengan anaknya, karena dari ketaatan inilah akan menjadikan diri ini menjadi pribadi yang tercerahkan.  Pribadi yang  mampu mengendalikan hawa nafsu, agar terkontrol aktivitas kehidupannya, sehingga berbagai bentuk kesombongan dan arogansi tersingkirkan guna menguatkan persaudaraan sebagai bekal interaksi dalam kehidupan social.

Membangun Persaudaraan
Diantara kesuksesan perjuangan Nabi Ibrahim as terkait dengan prosesi ibadah haji adalah membangun peradaban kehidupan berdasarkan ajaran taukhid, karena dari sanalah manusia akan mampu menyadari akan kehadirannya dimuka bumi ini untuk melakukan peran kekhalifahan, mengupayakan kehidupan yang harmonis bukan distruktif, kehidupan yang penuh persaudaraan bukan permusuhan, kehidupan yang aman dan damai bukannya kegelisahan dan  menakutkan hingga penuh konflik yang mengerikan. Kita benar-benar prihatin ketika masih maraknya berbagai aksi kekerasan hingga pembunuhan, sepertinya mereka telah kehilangan rasa persaudaraan sehingga dendam yang berkepanjangan, persaudaraan terkoyakkan oleh sikap arogan, kesewenangan dan merasa dirinya yang terbaik padahal senantiasa melakukan praktek kekerasan.
Semangat membangun persaudaraan terasa begitu kuat tatkala melakukan ritual haji, dari uniform yang dipergunakan adalah baju ihrom dari kain putih yang melambangkan kesucian, dan siapapun orangnya, apapun pangkat dan golongannya yang sebelumnya begitu terasa perbedaan dan pelayanan mendapatkan fasilitas yang cenderung diskriminatif telah melebur dan menyatu melakukan kebersamaan dalam rangka penyempurnaan diri. Seringkali dari perbedaan pakain dan fasilitas yang diberikan bisa menimbulkan kecemburuan sehingga melemahkan persaudaraan untuk memicu terjadi konflik social.
Maraknya aksi kekerasan pada akhir-akhir ini dapat menunjukkan betapa rapuhnya  persaudaraan, sepertinya kekerasan telah dijadikan model perjuangan sekaligus model kebijakan padahal dari kekerasan tersebut sangat dimungkinkan timbulnya korban luka dan jiwa, serta korban social berupa runtuhnya bangunan persaudaraan,  yang seharusnya persaudaraan bisa dijadikan modal untuk mencari solusi ketika ada problem-problem yang sangat krusial, namun sayangnya semangat membangun persaudaraan semakin terpinggirkan dan lebih mengutamakan melakukan aksi-aksi kekerasan dan sesungguhnya hal itu bukanlah solusi yang diharapkan.
Hidup dengan semangat persaudaraan sejatinya bukanlah hal yang baru dan hal itu sudah melekat  pada kepribadian manusia, dimana ketika dilahirkan dan dibesarkan ada sentuhan kasih sayang yang lembut dan menenangkan yang selanjutnya sebagai bekal ketika mengarungi kehidupannya dalam beriteraksi dengan masyarakat yang lebih luas dan beragam bisa melakukan sapaan yang lembut, pandangan yang menyejukkan dan aktivitas yang mengagumkan karena selalu menebar prestasi untuk kebaikan. Semangat persaudaraan harus tumbuh dari kesadaran diri bukan karena akibat intervensi, karena dari kesadaran diri itulah dapat melanggengkan tali persaudaraan, jika bukan karena kesadaran maka persaudaraan adalah semu, dan rapuh. Ibrahim as adalah figur  pemimpin yang mampu menunjukkan keteladan sehingga  bisa menumbuhkan kesadaran yang paripurna pada istri dan anaknya yang senantiasa konsisten melakukan kebaikan dan kemuliaan, serta tegas melakukan perlawanan terhadap perilaku yang merusak karena di dominasi  nafsu keserakahan dan permusuhan dari syetan, dan hal itu terekam dalam prosesi pelemparan jumroh sebagai bentuk membangun persaudaraan kemanusiaan untuk melawan arogansi syetan yang senantiasa menyesatkan.
Konsistensi membangun persaudaraan membutuhkan percepatan, bukannya melakukan pembiaran ketika munculnya aksi kekerasan, sehingga semakin memperparah dan berimbas pada munculnya berbagai potensi konflik yang selama  ini belum terselesaikan secara bijak dan berkeadilan. Sungguh mengerikan ketika konflik sampai terjadinya korban jiwa, sepertinya sebuah nyawa sudah tidak ada harganya lagi, padahal mereka yang jadi korban juga punya keluarga dan sanak saudara yang bisa jadi menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya, dan ketika tiada akan menyisahkan kedukaan yang luar biasa. Ritual haji yang melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah adalah bentuk konsistensi kita pada kebenaran dan kemuliaan dan jangan sampai terpalingkan, karena ketidakkonsistensian akan berdampak memicu permusuhan dengan segala akibatnya. Selanjutnya ritual haji juga melakukan sa'i dengan lari-lari kecil dari Sofa ke Marwah, hal ini mengajarkan bahwa untuk konsistensi tersebut membutuhkan percepatan yang maksimal, jangan ada pembiaran dan upaya mengalihkan perhatian tetapi tetap focus untuk menyelesaikan permasalahan dengan sebik mungkin. Kelambatan mengatasi problem yang ada akan  berdampak munculnya permasalahan baru, sehingga melakukan percepatan ini bukan dilakukan secara sembarangan tetapi tetap memperhatikan kondisi social secara keseluruhan, dan melakukan penyembelihan ternak qurban sebagai bentuk pengorbanan dan kepedulian sekaligus menghancurkan sifat kebinatangan, guna mendapat predikat taqwa.

Keragaman dan Persaudaraan  
Kesadaran umat Islam Indonesia dalam menunaikan ibadah haji cukup tinggi, meski dengan biaya yang relative besar dan harus menunggu waktu hampir 10 tahun ternyata tidak menyurutkan kemauannya untuk memenuhi panggilan-Nya. Kenyataan ini merupakan salah satu bukti bahwa telah adanya kesejahteraan dalam ekonomi pada sebagian masyarakat meski terbatas, dan mampu dipergunakan untuk menunaikan ibadah haji bukan untuk mencari status dan pengakuan social sebagai tokoh masyarakat tetapi benar-benar untuk membangun persaudaraan.
Persaudaraan sejati sesungguhnya mampu dibangun dari kebermaknaan haji yang mabrur (diterima), baik dari aspek vertical yang mencapai kesempurnaan diri, dan aspek horizontal yang mampu menguatkan persaudaraan meski ada keragaman kultur dan budaya, serta keagamaan tidak menghalangi upaya menguatkan persaudaraan sebagai refleksi haji yang mabrur. Persaudaraan sejati mampu mensinergikan perbedaan yang ada dalam suatu kekeluargaan, juga mampu meningkatkan kesetiakawanan social sebagai media menguatkan kerukunan, persaudaraan sejati juga melahirkan pribadi yang peduli untuk berbagi dalam memberikan solusi.
Ada banyak hikmah yang bisa kita peroleh dari ritual keagamaan sebagai media menguatkan persaudaraan, karena memang persaudaraan telah diperintahkan dalam firman-Nya (al Hujrat : 10-12),sehingga ada perdamaian serta bertaqwalah agar mendapat rahmat-Nya. Berbahagialah mereka yang selalu membangun persaudaraan sebagai wujud kemuliaan. ***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar